Senin, 13 Mei 2013

Pendekatan Historis Hujan Bulan Juni


A.    Biografi Sapardi Djoko Damono
Prof.Dr. Sapardi Djoko Damono lahir di Surakarta, 20 maret 1940. Masa mudanya dihabiskan di Surakarta. Sapardi bersekolah SD di Sekolah Dasar Kasatrian. Setelah itu ia melanjutkan ke SMP Negeri 2 Surakarta. Pada saat itulah kegemarannya terhadap sastra mulai nampak. Sapardi lulus dari SMA pada tahun 1955. Kemudian ia melanjutkan sekolah ke SMA Negeri 2 Surakarta. Sapardi menulis puisi sejak duduk di kelas 2 SMA. Karyanya dimuat pertama kali oleh sebuah suat kabar di Semarang. Tidak lama kemudian, karya sastranya berupa puisi-puisi banyak diterbitkan di berbagai majalah sastra, majalah budaya dan diterbitkan dalam buku-buku sastra. Sapardi lulus dari SMA pada tahun 1958.
Setelah lulus SMA, Sapardi melanjutkan pendidikan di jurusan Sastra Barat FS&K di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Setelah lulus kuliah, selain menjadi penyair ia juga melaksanakan cita-cita lamanya untuk menjadi dosen. Ia meraih gelar sarjana sastra tahun 1964. Kemudian Sapardi memperdalam pengetahuan di Universitas Hawaii, Honolulu, Amerika Serikat (1970-1971) dan meraih gelar Doktor dari Universitas Indonesia (1989). Setelah itu, Sapardi mengajar di IKIP Malang cabang Madiun selama empat tahun. Kemudian dilanjutkan di Universitas Diponegoro Semarang, juga selama empat tahun. Sejak tahun 1974, Sapardi mengajar di FS UI. Beberapa karyanya yang sudah ada di tengah masyarakat antara lain DukaMu Abadi (1969), Mata Pisau dan Aquarium (1974). Sapardi juga menulis buku ilmiah, satu di antaranya Sosiologi Sastra, Sebuah Pengantar Ringkas. (1978).
Para pengamat menilai sajak-sajak Sapardi dekat dengan Tuhan dan kematian. “Pada Sapardi, maut atau kematian dipandang sebagai bagian dari kehidupan; bersama kehidupan itu pulalah maut tumbuh,” tulis Jakob Sumardjo dalam harian Pikiran Rakyat, 19 Juli 1984. Sebuah karya besar yang pernah ia buat adalah kumpulan sajak yang berjudul Perahu Kertas dan memperoleh penghargaan dari Dewan Kesenian Jakarta dan kumpulan sajak Sihir Hujan yang ditulisnya ketika ia sedang sakit memperoleh Anugerah Puisi Poetra Malaysia. Kabarnya, hadiah sastra berupa uang sejumlah Rp 6,3 juta saat memperoleh Anugerah Puisi Poetra Malaysia langsung dibelanjakannya memborong buku. Selain itu ia pernah memperoleh penghargaan SEA Write pada 1986 di Bangkok Thailand.
Bekas anggota Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) ini juga menulis esai dan kritik. Sapardi, yang pernah menjadi redaktur Basis dan kini bekerja di redaksi Horison, berpendapat, di dalam karya sastra ada dua segi: tematik dan stilistik (gaya penulisan). Secara gaya, katanya, sudah ada pembaruan di Indonesia. Tetapi di dalam tema, belum banyak. Selain melahirkan puisi-puisi, Sapardi juga aktif menulis esai, kritik sastra, artikel serta menerjemahkan berbagai karya sastra asing. Dengan terjemahannya itu, Sapardi mempunyai kontribusi penting terhadap pengembangan sastra di tanah air. Selain dia menjembatani karya asing kepada pembaca sastra, ia patut dihargai sebagai orang yang melahirkan bentuk sastra baru. Sumbangsih Sapardi juga cukup besar kepada budaya dan sastra, dengan melakukan penelitian, menjadi narasumber dalam berbagai seminar dan aktif sebagai administrator dan pengajar, serta menjadi dekan Fakultas Sastra UI periode 1995-1999. Dia menjadi penggagas pengajaran mata kuliah Ilmu Budaya Dasar di fakultas sastra.
Beberapa puisinya sangat populer dan banyak orang yang mengenalinya, seperti Aku Ingin (sering kali dituliskan bait pertamanya pada undangan perkawinan), Hujan Bulan Juni, Pada Suatu Hari Nanti, Akulah si Telaga, dan Berjalan ke Barat di Waktu Pagi Hari.
Beliau menyadari bahwa menjadi seorang sastrawan tidak akan memperoleh kepuasan finansial. Kegiatan menulis adalah sebagai waktu istirahat, saat dia ingin melepaskan diri dari rutinitas pekerjaannya sehari-hari. Menikah dengan Wardiningsih, ia dikaruniai dua anak, Rasti Suryandani dan Rizki Henriko.
                                                                                                     
B.     Latar Belakang Puisi “Hujan Bulan Juni” Karya Sapardi Djoko Damono
Sapardi Djoko Damono adalah penyair yang memiliki banyak puisi yang terkenal, bahkan hampir semua Puisinya terkenal. Puisi-puisi Sapardi Djoko Damono paling dikenal dikalangan remaja karena bisanya bertema cinta. Tak hanya terkenal di kalangan remaja saja, sebenarnya puisi Sapardi Djoko Damono disenangi dari berbagai usia sebab walaupun bertema cinta kata-kata yang digunakan bukan kata-kata yang berlebihan dan cepat kadaluarsa, bukan kata-kata sampah belaka.
Hujan Bulan Juni terangkum dalam kumpulan puisi dari Sapardi Djoko Damono. Di dalamnya termuat 96 puisi yang telah diseleksi dari ratusan puisinya selama periode 1964 hingga 1994. Beberapa puisi di dalamnya telah dibukukan dalam buku kumpulan puisi Mata Pisau, Akuarium, Perahu Kertas, maupun Sihir Hujan. Membaca puisi-puisi Sapardi, bisa membuat pembaca serasa dibawa ke suasana muram, mistis, penuh tanda tanya, penuh pengakuan, juga kearifan hidup melalui imajinasinya. Salah satu kendaraan yang mudah dicerna dalam kumpulan puisi ini adalah hujan. Hujan dalam puisi Sapardi menjelma menjadi suatu lanskap ritmik, di mana kita bisa menganalogkan sebagai satu sajian soundscape nan indah. Soundscape Hujan Bulan Juni.
Istilah soundscape berasal dari dua kata, sound (suara, bunyi) dan scape (dari lanscape, pemandangan). Soundscape dapat diartikan sebagai pemandangan yang berupa bunyi atau suara. Istilah ini dimunculkan oleh komponis Kanada, Murray Schafer dalam buku berjudul Ear Cleaning yang membahas pemandangan bunyi dan bagaimana bunyi-bunyi itu mengambil bagian dalam konteks lingkungan. Bagaimana Sapardi mengolah hujan yang merupakan pemandangan keseharian saat musim hujan datang, menjadi soundscape indah. Lanskap hujan menjadi sumber melodrama dan cerita humanitas tanpa batas.

C.    Analisis Puisi “Hujan Bulan Juni” Karya


HUJAN BULAN JUNI

tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan Juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu

tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan Juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu

tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan Juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu.


Penggunaan gaya bahasa yang sangat dominan dalam puisi disebabkan oleh adanya media yang sangat terbatas. Kesatuan puisi, yang disebut sebagai bait adalah totalitas yang sama dengan bentuk cerpen, novel, dan drama. Perbedaannya, satu bait puisi terdiri dari satu atau dua halaman, sedangkan sebuah novel terdiri atas ratusan bahkan ribuan halaman. Dalam puisi Hujan Bulan Juni setiap bait memiliki keterkaitan.
Judul puisi itu sendiri yaitu “Hujan Bulan Juni”. Pada awal mengetahui dan membaca puisi ini saya sempat bingung, dari judulnya saja Hujan Bulan Juni padahal sepengetahuan saya bulan juni merupakan musim kemarau yang berarti jarang sekali turun hujan pada bulan tersebut. Dalam puisi ini di gambarkan kalau hujan pada bulan juni begitu indah dan damai, kata hujan seperti dekat sekali dengan kita apalagi pada puisi hujan bulan juni ini tidak hanya penggambaran hujan pada umumnya yaitu air yang turun dari langit, tetapi ada sifat tabah, bijak, dan arif yang seharusnya ada pada diri manusia. Andai ketiga sifat pada puisi ini ada dalam diri kita pasti akan terasa indah hidup kita, tetapi sifat tersebut jarang dimiliki setiap manusia seperti hujan pada bulan Juni yang pasti jarang sekali turun ke bumi.
Hujan Bulan Juni bisa dikatakan menunjukan simbol dari sebuah penantian. Apalagi bulan juni merupakan bulan di musim kemarau yang jarang terjadi hujan. Walaupun memang pada akhir-akhir ini tidak demikian. Hal yang dinantikan pada bulan juni musim kemarau adalah hujan. Jadi dari situlah bisa diambil kesimpulan bahwa Hujan Bulan Juni dari puisi yang berjudul sama karya Sapardi Djoko Damono adalah Penantian.
Puisi Hujan Bulan Juni merupakan puisi berirama eufoni atau kombinasi bunyi yang enak di dengar. Pada puisi ini bunyinya harmonis serta lembut. Tiap baris disajikan dengan kata yang halus dan dengan gaya bahasa kiasan yang personifikasi yang didapat dalam kata hujan dikiaskan seperti manusia yang bersikap tabah, arif, dan bijak.
Puisi Hujan Bulan Juni terdiri dari 12 baris. Dalam puisi ini menurut saya mempunyai ide-ide atau tema tertentu seperti, penantian yang tabah, kerinduan yang dirahasiakan, penantian yang bijak, penghapusan masa lalu yang menimbulkan keraguan, kearifan penantian, penantian yang berujung kebahagiaan.
Pada baris pertama dan kedua puisi ini berbunyi “Tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan Juni” menggambarkan ketabahan seseorang yang terus menanti sesuatu yang dinantinya. Tabah artinya tetap dan kuat hati. Jadi orang ini menanti tanpa henti dan dengan kuat walau apapun terjadi. Kata tak ada menerangkan bahwa dia yang paling tabah dalam menanti, tidak ada seorangpun yang bisa melebihi penantiannya.
Pada baris ketiga dan keempat “Dirahasiakannya rintik rindunya kepada pohon berbunga itu”. Pohon berbunga dimaksudkan meskipun lama menanti tetapi pada suatu hari hal yang indah akan menghampiri bagi orang yang menanti dengan tabah. Dirahasiakannya rintik rindunya menunjukan bahwa dia rindu ingin bertemu dengan hal indah yang dilambangkan dengan pohon berbunga tetapi kerinduan itu hanya dapat dirahasiakannya.
Pada baris kelima dan keenam “Tak ada yang lebih bijak dari hujan bulan Juni.” menunjukan penantian yang bijak. Bijak dalam kamus bahasa Indonesia adalah selalu menggunakan akal budinya, pandai, mahir. Jadi seseorang itu menanti dengan menggunakan akal budinya.
Baris kelima dan keenam diperjelas dengan baris ke tujuh dan kedelapan “Dihapusnya jejak-jejak kakinya yang ragu-ragu di jalan itu.” yang menyatakan penghapusan masa lalu yang penuh keraguan serta pengharapan. Jejak-jejak kaki menandakan sesuatu yang pernah didapatkan atau ditemukan yang berbekas mungkin dalam puisi ini adalah sebuah memori yang diperjelas dengan baris kedelapan yaitu memori yang ragu-ragu.
Pada baris kesembilan dan sepuluh “Tak ada yang lebih arif dari hujan bulan Juni.” Pengarang kembali lagi memuji penantian yang dilakukan seseorang demi mendapatkan suatu hal yang indah yaitu dengan kata arif yang berarti cerdik, pandai dan berilmu menurut kamus Bahasa Indonesia.
Pada baris kesebelas dan duabelas “dibiarkannya yang tak terucapkan diserap akar pohon bunga itu.” menggambarkan kalau penantian yang dilakukan dengan tabah akan berbuah manis. Bisa dikatakan demikian setelah melihat akhir baris keduabelas yaitu diserap akar pohon bunga itu yang mengacu kepada air hujan yang diserap oleh akar pohon bunga, ketika bunga layu mungkin akan kurang indah tetapi, apabila bunga sudah mekar karena tidak kekurangan air maka akan terlihat sangat indah.  Dibiarkannya yang tak terucapkan menunjukan bahwa dia tak peduli dengan apa yang dulu dia rasakan pada masa penantian, karena kini hujan telah diserap akar pohon dari bunga yang akan membuatnya mekar menjadi sangat indah.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright 2009 Moh. Fajri