Selasa, 15 Juli 2014

PUJIAN DI DESA SOLOKURO: PENGARUH KEBUDAYAAN DAN UNSUR KEBAHASAAN



Abstrak

Filologi dikenal sebagai ilmu yang berhubungan dengan kebudayaan masa lampau. Studi atas karya tulisan masa lampau dilakukan karena adanya anggapan dalam tulisan terkandung nilai-nilai yang masih relevan dengan kehidupan masa kini. Pujian tumbuh dari rasa syukur kepada Allah, yaitu ketika Allah turut mengambil bagian dalam problema kehidupan, maka pada saat itulah rasa syukur dan terima kasih tercipta melalui pujian. Pujian dalam kajian ini diambil dari desa Solokuro Lamongan yaitu Hasbunallah wa ni’mal wakil, ni’mal maula wa ni’man nashir yang mempunyai arti cukuplah Allah menjadi penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik pelindung. Dia adalah sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong. Setelah pujian ini berkembang sedikit demi sedikit kebiasaan atau kebudayaan masyarakat pada saat itu yang di anggap kurang baik mulai berkurang. Dalam tulisan ini juga mengkaji unsur kebahasaan dalam pujian Hasbunallah wa ni’mal wakil, ni’mal maula wa ni’man nashir.


Kata Kunci: Pujian Hasbunallah wa ni’mal wakil, ni’mal maula wa ni’man nashir, Nilai Kebudayaan, Unsur Kebahasaan.


PENDAHULUAN
Selama ini, filologi dikenal sebagai ilmu yang berhubungan dengan kebudayaan masa lampau yang berupa tulisan. Studi atas karya tulisan masa lampau dilakukan karena adanya anggapan bahwa dalam tulisan terkandung nilai-nilai yang masih relevan dengan kehidupan masa kini. Karya-karya tulisan masa lampau tersebut merupakan hasil peninggalan yang mampu menginformasikan buah pikiran, perasaan, dan informasi mengenai berbagai segi kehidupan yang pernah ada. Selain itu, sebagai produk masa lampau, bahan yang berupa kertas dan tinta, serta bentuk tulisan, dalam perjalanan waktu semenjak diciptakan sampai saat ini, telah mengalami perubahan atau bahkan kerusakan, baik karena faktor waktu maupun karena faktor kesengajaan dari para penyalinnya. Gejala yang demikian itu terbaca pada munculnya variasi bacaan dalam karya tulisan dari masa lampau.
Pujian mempunyai nilai-nilai yang masih relevan dengan kehidupan masa kini yang menyatakan sesuatu hal positif tentang seseorang, dengan tulus dan sejujurnya. Pujian itu adalah sesuatu ucapan yang membuat orang yang mendengarnya merasa tersanjung, sehingga dapat juga memberikan motivasi kepada orang yang di puji. Pujian itu penting sekali, guna untuk menunjukan betapa kita benar-benar menyukai apa yang di katakan, di lakukan, atau dicapai oleh seseorang. Pujian membuat orang menjadi lebih baik. Dan, kemampuan memuji adalah skill yang sangat berguna untuk dikuasai. Orang yang sering dipuji cepat atau lambat akan belajar untuk memuji orang lain juga. Kalau kita sering saling memuji, kita akan lebih bahagia. Dan, kalau kita menjadi orang yang lebih bahagia, kebahagiaan akan cepat menyebar seperti virus, dan akan menjadikan dunia tempat yang lebih bahagia untuk dihuni.
Pujian adalah ekspresi manusia berupa ungkapan hati yang ditujukan kepada Allah, sebagai tanggapan atas perbuatan-Nya dan juga atas diri pribadi Allah sendiri. Pujian tumbuh dari rasa syukur kepada Allah, yaitu ketika Allah turut mengambil bagian dalam problema kehidupan, maka pada saat itulah rasa syukur dan terima kasih tercipta melalui pujian. Rasa syukur itulah yang menjadi penggerak untuk memuji Allah. Pujian melibatkan pikiran yang yang tertuju kepada Allah kemudian diwujudkan dalam tindakan yang merupakan perbuatan yang memuji Allah.
Pujian sebelum sholat juga merupakan sarana untuk menunggu imam dan makmum yang lain agar datang melaksanakan sholat berjamaah baik di masjid maupun di pondok atau langgar supaya tidak terlambat. Pujian-pujian tersebut berasal dari sebuah teks khususnya dari bahasa arab yang dilantunkan oleh makmum secara bersama-sama dan terkadang ada seorang yang memimpin biasanya menggunakan pengeras suara seperti yang dilakukan di desa Solokuro kabupaten Lamongan yang melantunkan pujian dari bahasa arab yang berbunyi Hasbunallah wa ni’mal wakil, ni’mal maula wa ni’man nashir yang mempunyai arti cukuplah Allah menjadi penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik pelindung. Dia adalah sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong,  sebelum melaksanakan jama’ah sholat magrib. Pujian ini di ulang beberapa kali sembari menunggu imam datang. Dari dulu sampai sekarang pujian yang dilantunkan di pondok ini sebelum jamaah magrib selalu pujian ini belum pernah diganti.
Dalam penelitian ini akan membahas pujian sebelum jamaah sholat magrib di desa Solokuro kabupaten Lamongan yang berbunyi “Hasbunallah wa ni’mal wakil, ni’mal maula wa ni’man nashir”  dengan menggunakan analisis nilai kebudayaan dan unsur kebahasaan.
DESKRIPSI OBJEK
Pujian ini selalu dilantunkan sejak dulu sampai sekarang di desa Solokuro. Pujian ini pertama kali di bawah ke desa Solokuro oleh Mbah Zahri seorang ulama dari desa Tebuwung. Mbah zahri pada awalnya di panggil oleh petinggi atau kepala desa Solokuro saat itu yaitu petinggi Rasyid dan diberi sebilah tanah wakaf supaya Mbah Zahri bisa menetap di desa Solokuro. Salah satu tujuannya adalah agar Mbah Zahri bisa memberi pencerahan khususnya di bidang keagamaan kepada warga Solokuro, karena pada saat itu kondisi keagamaan di desa Solokuro masih belum begitu jelas sehingga banyak warga yang masih mengantar sesajen dan berdoa dibawah pohon-pohon besar yang di anggap mempunyai kekuatan mistis seperti pohon beringin yang sekarang lokasinya berada di depan masjid desa, tetapi belum lama ini beringin tersebut roboh sendiri. Mbah Zahri kemudian melantunkan pujian “Hasbunallah wa ni’mal wakil, ni’mal maula wa ni’man nashir” yang mempunyai arti cukuplah Allah menjadi penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik pelindung. Dia adalah sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong, sebelum sholat magrib di langgar sehingga masyarakat mulai mendengar dan sedikit demi sedikit mulai mengikuti pujian tersebut meskipun kebanyakan orang saat itu belum tahu arti dari pujian tersebut yang penting ikut melantunkan. Pujian ini di dapat Mbah Zahri dari meniru kyai nya ketika beliau masih di pondok. Mbah Zahri kemudian bisa berangkat haji dan namanya dirubah menjadi Mbah Anwar. Mbah Anwar mempunyai anak bernama Mbah Basyir yang meneruskan perjuangan Mbah Anwar ketika beliau wafat. Mbah Basyir mempunyai anak yang bernama Mbah Mujib yang meneruskan perjuangan dan mempertahankan pujian yang di bawah oleh Mbah Anwar tersebut. Setelah Mbah Mujib wafat, perjuangan beliau dilanjutkan oleh Ustadz Mashudi sampai sekarang.
Saat ini pujian tersebut selalu menggema setelah adzan magrib berkumandang di desa Solokuro. Kebanyakan yang melantunkan adalah anak-anak kecil yang mau mengaji di pondok. Pujian ini berisi pesan yang tersirat dan dilantunkan berulang-ulang sembari menunggu imam datang. Pujian ini dilantunkan menjadi sebuah lagu mempunyai tujuan supaya tidak gampang lupa serta supaya mudah di hafal. Apalagi saat pujian ini pertama kali di bawah ke desa Solokuro, keadaan masyarakat masih kurang kuat imannya sehingga banyak yang masih menaruh sesajen dan berdoa di bawah pohon-pohon besar. Pada saat ini pujian tersebut mempunyai tujuan juga untuk mendidik anak-anak khususnya dari anak yang masih duduk di bangku Taman Kanak-Kanak sampai yang sudah di Madrasah Tsanawiyah karena kebanyakan yang melantunkan sekarang adalah mereka. Apalagi pesan dari Mbah Zahri saat itu adalah jangan meninggalkan anak cucu dalam keadaan buta. Buta disini bukan mempunyai maksud anak tersebut tidak bisa melihat. Tetapi mempunyai maksud tidak tahu apa-apa mengenai agama khususnya.
TEORI
Menurut Arps (dalam Kadarisman, 2010:122) sebuah teks tembang dapat dibaca dengan dua cara: analytical reading atau phoetic reading. Cara pertama berusaha memahami isi teks, sedangkan cara kedua lebih bermaksud menikmati dan menghayati totalitas teks. Singkatnya, puitika Jawa diwarnai oleh kelisanan yang kental, tembang adalah sastra tulis yang penciptaan dan penghayatannya bergantung pada kelisanan. Sastra tulis lazimnya berwujud tembang. Dan pujian ini termasuk dalam bentuk tembang yang merupakan kajian sastra tulis. Meskipun pujian merupakan sastra tulis, namun harus selalu diperhatikan bahwa dalam proses penciptaannya sang penggubah melantunkan atau menyanyi perlahan dalam hati dan setelah tercipta sebuah tembang atau pujian ini baru bisa dinikmati secara sempurna jika dilagukan. Teori yang akan digunakan dalam penelitian ini yaitu teori analisis unsur kebudayaan dan unsur kebahasaan. Bahwa obyek kajian dalam teori ini adalah ragam sastra, yaitu sastra tulis ang kemudian dilisankan.
Pada dasarnya pendekatan dalam menganalisis data ini adalah pendekatan etnopuitika, etnopuitika adalah disiplin yang mengkaji puitika pentas yang membawa warna lokal atau kebudayaan lokal yang kental sekali. Etnopuitika itu sendiri juga merupakan titik-temu dari tiga disiplin ilmu yaitu linguistik, antropologi dan sastra lisan. Objek kajian etnopuitika seperti yang telah disampaikan sebelumnya, terpusat pada “teks” yang muncul pada pentas sastra. Adapun fokus dari ketiga disiplin ilmu itu masing-masing linguistik bertugas menganalisis struktur teks, dari lapis fonetis-fonologis, lapis morfoleksikal, lapis sintaksis, sampai lapis sosio-semantisnya. Antropologi berfokus pada pengetahuan lokal: bagaimana filsafat atau kearifan lokal menjelaskan makna sosial dari pentas sastra tersebut bagi masyarakat sekitar. Sastra lisan menjelaskan posisi pentas sastra tersebut dalam kaitannya dengan pentas sastra yang lain, yang mungkin berkaitan atau sama sekali terpisah.
ANALISIS DAN BAHASAN
DATA
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah pujian sebelum jamaah sholat maghrib di desa Solokuro. Dalam pujian ini sebenarnya bukan hanya untuk menunggu imam datang. Tetapi juga ada maksud tertentu yang berpengaruh kepada kondisi masyarakat. Hasbunallah wa ni’mal wakil, ni’mal maula wa ni’man nashir.  Pujian tersebut mempunyai arti cukuplah Allah menjadi penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik pelindung. Dia adalah sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong.      
NARASUMBER
Dalam penelitian ini penulis melakukan wawancara kepada dua orang narasumber yang berfungsi untuk memberikan informasi yang jelas mengenai penelitian ini. Narasumber yang pertama adalah Pak Khusaeri, beliau di anggap orang yang tahu banyak hal mengenai desa Solokuro apalagi pekerjannya sebagai seniman kentrung menuntut dia harus tahu mengenai cerita-cerita atau sejarah khususnya zaman dulu. Selain sebagai seniman kentrung beliau juga sebagai seorang guru madrasah serta pengurus pemerintahan di desa Solokuro dan mempunyai dua putra yang bernama Mizdad dan Yazid. Saya melakukan wawancara sekitar pukul 13.30 bertempat di rumah Pak Khusaeri setelah beliau pulang dari mengajar di Madrasah dan kebetulan beliau sedang tidak ada tamu.
Narasumber yang kedua adalah Pak Suzahri, beliau disamping sebagai ustadz juga bekerja sebagai seorang guru serta menjadi bos material atau penyedia bahan bangunan. Beliau mempunyai empat orang anak yang bernama Dimas, Fakih, Akbar, dan yang satunya belum diberikan nama. Saya melakukan wawancara dengan Pak Suzahri sekitar pukul 18.30 bertempat di rumah beliau dengan keadaan yang cukup ramai karena tanpa sepengetahuan saya sehari sebelum saya melakukan wawancara istri beliau melahirkan anak yang keempat sehingga banyak sekali orang yang datang untuk melihat bayi. Tetapi itu tidak mengurangi semangat Pak Suzahri dalam memberikan informasi kepada saya, karena wawancaranya bukan berada di dalam rumah melainkan di depan rumah beliau.
PENGARUH KEBUDAYAAN
Kebudayaan Sebelum Pujian Masuk
Asal mula desa Solokuro sebenarnya berasal dari dua kelompok atau dua dusun yaitu Jalak dan Sangan. Semua masyarakat Jalak dan Sangan pada saat itu sangat kesulitan dalam mencari sumber air baik untuk minum ataupun untuk mandi. Akhirnya ada seorang santri dari sunan ampel yang di utus untuk membuat sumber mata air di desa Solokuro. Sayang sekali santri sunan ampel tersebut dituduh warga sebagai maling atau pencuri sehingga beliau di bunuh oleh warga. Apalagi kondisi masyarakat saat itu sedang kacau sehingga gampang sekali terpancing provokasi. Setelah tahu yang dibunuh tersebut adalah santri sunan ampel akhirnya mereka menyesal dan meminta maaf dengan cara selalu berdoa di makam santri tersebut tetapi setelah berdoa mereka langsung berlari dengan cepat karena merasa takut. Bukan hanya ziarah saja, tetapi mereka juga mengirimkan makanan ke makam tersebut. Ternyata masyarakat bukan hanya mengirimkan makanan ke makam saja tetapi kepada pohon-pohon besar yang ada di desa Solokuro yang di anggap keramat.
Dalam keagamaan di desa Solokuro juga kurang begitu baik karena mulai anak-anak sampai orang tua jarang sekali berjama’ah atau sholat di masjid atau langgar pada saat itu. Mereka lebih suka berdoa dan mengirimkan sesajen di pohon yang di anggap keramat. Kebiasaan itu bisa dikatakan sudah menjadi kebudayaan masyarakat Solokuro pada waktu itu.
Kebiasaan Setelah Pujian Masuk
Kebiasaan yang dianggap kurang baik tersebut sedikit demi sedikit mulai hilang ketika setelah adzan maghrib ada yang melantunkan pujian ini. Banyak orang yang penasaran sehingga mulai mengikuti dan melaksanakan pujian tersebut sekaligus mengikuti jamaah sholat maghrib. Apalagi pujian ini dilantunkan ketika para warga pulang kerumah setelah kebanyakan melakukan aktivitas sehari-hari yaitu pergi kesawah. Kebanyakan yang ikut melantunkan saat itu adalah para orang tua kemudian orang tua tersebut mengajak anak-anaknya untuk ikut jamaah sholat maghrib di langgar atau saat ini disebut pondok. Kebiasaan mengirim sesajen atau berdoa di pohon yang dianggap keramat sudah mulai di tinggalkan oleh kebanyakan masyarakat dan memilih melakukan jamaah sholat khususnya sholat magrib di pondok.
Pada dasarnya pujian ini adalah menyeruhkan kepada kita supaya hanya meminta pertolongan kepada Allah bukan kepada mahluk seperti manusia atau pohon-pohon besar yang dilakukan oleh masyarakat pada zaman dahulu sebelum pujian ini masuk di Solokuro. Tidak ada sebaik-baik kekuatan atau pertolongan melainkan dari Allah SWT.  
Pada saat ini pujian tersebut masih tetap dilantunkan sebelum jama’ah sholat maghrib yang memang kenyataannya masyarakat Solokuro mayoritas masih tetap bekerja sebagai petani sudah pulang ke rumah masing-masing. Anak-anak yang melantunkan pujian ini sudah selesai bermain. Karena setiap sore anak-anak kecil bermain di lapangan baik lapangan sepak bola maupun bola volli. Mereka akan berhenti bermain ketika menyadari maghrib segera datang dan kemudian mereka segera pulang dan bergegas menuju pondok untuk mengaji. Dalam melantunkan pujian ini mereka banyak yang bergurau satu sama lain meskipun masih tetap ikut melantunkan pujian tersebut.
Sayang sekali saat ini yang melantunkan pujian ini hanya anak-anak saja karena para orang tua sudah jarang meluangkan waktunya untuk ke pondok, disamping karena faktor capek juga terkadang ada kesibukan masing-masing. Pada perkembangannya sekarang setelah melantunkan pujian ini kemudian anak-anak melanjutkan untuk mengaji Al Qur’an dan dilanjutkan untuk melaksanakan jama’ah sholat isya’ sebelum pulang kerumah untuk belajar.
Kebiasaan yang hampir menjadi budaya di masyarakat desa Solokuro yang lebih memilih berdoa di tempat yang di anggap keramat bisa dikatakan kurang baik. Tetapi setelah pujian Hasbunallah wa ni’mal wakil, ni’mal maula wa ni’man nashir atau cukuplah Allah menjadi penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik pelindung. Dia adalah sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong,  ini mulai dilantunkan sedikit demi sedikit kebiasaan tersebut mulai berkurang karena masyarakat lebih memilih untuk berjamaah dan berdoa di masjid atau langgar daripada ditempat atau pohon keramat tersebut. Nilai kebudayaan di Desa Solokuro ini masih kuat dan terus di kembangkan sampai sekarang terbukti dengan setiap hari masih dilantunkan pujian tersebut oleh anak-anak yang masih mau pergi jamaah maghrib ke pondok. Secara tidak langsung pujian ini juga mempunyai tujuan untuk mendidik kepada anak-anak
UNSUR KEBAHASAAN 
Kata Hasbu  dalam pujian ini mempunyai makna cukup atau mencukupi, kata ini menduduki jabatan sebagai fiil atau kata kerja dan menjadi predikat. Kata Na merupakan dhamir yang mewakili dhamir nahnu ‘kita’ karena kata tersebut mustatir ‘bergandeng’ dengan kata sebelumnya maka menjadi na. Na menjabati kedudukan sebagai maf’ulun bih atau objek. Kalimat ini susunan sebenarnya adalah hasaba Allahu ilaina. Cukuplah Allah bagi kita. Kemudian diartikan cukuplah Allah menjadi penolong kita. Kata Allah kita khususnya umat islam, Lafdu jalalah merupakan fa’il dari fi’il yang terletak sebelumnya. Kata wa memiliki arti dan. Kata tersebut memiliki jabatan sebagai wawu ‘athaf ‘kata hubung’. Kata Ni’ma memiliki arti baik jika bergabung dengan kata wakil maka akan menjadi sebaik-baik pelindung. Susunan frasa ini merupakan ma’thuf dan susunan ini merupakan mudhof. Kata Wakil memiliki arti pelindung yang menduduki jabatan  sebagai mudhof  ilaih. Kata Ni’ma memiliki arti baik jika bergabung dengan kata wakil maka akan menjadi sebaik-baik pelindung. Susunan frasa ini merupakan ma’thuf dan susunan ini merupakan mudhof. Kata Maula memiliki arti pelindung kata ini menduduki jabatan sebagai mudhof ilaih. Kata wa memiliki arti dan. Kata tersebut memiliki jabatan sebagai wawu ‘athaf ‘kata hubung’. Kata Ni’ma memiliki arti baik jika bergabung dengan kata wakil maka akan menjadi sebaik-baik pelindung. Susunan frasa ini merupakan ma’thuf dan susunan ini merupakan mudhof. Kata Nashir berasal dari kata nashara-yansuru-nasran yang memiliki arti menolong. Perubahan bentuk dari kata semula menjadi nashir karena akibat dari ditasrif sehingga menjadi bentuk isim fail ‘kata yang berkedudukan sebagai subjek’ contoh: katib ‘penulis’ berasal dari kata ‘menulis’. Nashir ‘penolong’ dari kata nashara ‘menolong’
Arti Leksikal
Kata
Hasbu mempunyai makna cukup atau mencukupi, kata ini menduduki jabatan sebagai fiil atau kata kerja dan menjadi predikat
Hasbu
Na’ merupakan dhamir yang mewakili dhamir nahnu ‘kita’ karena kata tersebut mustatir ‘bergandeng’ dengan kata sebelumnya maka menjadi na. Na menjabati kedudukan sebagai maf’ulun bih atau objek. Kalimat ini susunan sebenarnya adalah hasaba Allahu ilaina. Cukuplah Allah bagi kita. Kemudian diartikan cukuplah Allah menjadi penolong kita.
Na
Lafdu jalalah merupakan fa’il dari fi’il yang terletak sebelumnya.
Allah
Kata ‘wa’ memiliki arti ‘dan’. Kata tersebut memiliki jabatan sebagai wawu ‘athaf ‘kata hubung’.
Wa
Ni’ma memiliki arti baik jika bergabung dengan kata wakil maka akan menjadi sebaik-baik pelindung. Susunan frasa ini merupakan ma’thuf dan susunan ini merupakan mudhof.
Ni’mal
Wakil memiliki arti pelindung yang menduduki jabatan  sebagai mudhof  ilaih.
Wakil
Ni’ma memiliki arti baik jika bergabung dengan kata wakil maka akan menjadi sebaik-baik pelindung. Susunan frasa ini merupakan ma’thuf dan susunan ini merupakan mudhof.
Nikmal
Maula memiliki arti pelindung kata ini menduduki jabatan sebagai mudhof ilaih.
Maula
Kata ‘wa’ memiliki arti ‘dan’. Kata tersebut memiliki jabatan sebagai wawu ‘athaf ‘kata hubung’.
Wa
Ni’ma memiliki arti baik jika bergabung dengan kata wakil maka akan menjadi sebaik-baik pelindung. Susunan frasa ini merupakan ma’thuf dan susunan ini merupakan mudhof.
Nikma
Nashir dari kata nashara-yansuru-nasran yang memiliki arti menolong. Perubahan bentuk dari kata semula menjadi nashir karena akibat dari ditasrif sehingga menjadi bentuk isim fail ‘kata yang berkedudukan sebagai subjek’ contoh: katib ‘penulis’ berasal dari kata ‘menulis’. Nashir ‘penolong’ dari kata nashara ‘menolong’
Nashir

Artinya cukuplah allah menjadi penolong kami dan allah adalah sebaik-baik pelindung. Dia adalah sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong.
SIMPULAN
Berdasarkan pembahasan diatas bisa diambil sebuah kesimpulan bahwa pujian khususnya di Desa Solokuro bukan hanya digunakan sebagai sarana untuk menunggu imam sholat. Pujian tersebut juga bisa digunakan untuk mendidik, pujian tersebut juga dilagukan supaya mudah dihafal dan gampang diingat.
Pujian Hasbunallah wa ni’mal wakil, ni’mal maula wa ni’man nashir ternyata mampu membawa perubahan kebudayaan di Desa Solokuro. Setelah pujian Hasbunallah wa ni’mal wakil, ni’mal maula wa ni’man nashir berkembang sedikit demi sedikit kebiasaan masyarakat berdoa di tempat yang di anggap keramat mulai berkurang. Masyarakat lebih memilih untuk berjamaah dan berdoa di masjid atau langgar daripada ditempat atau pohon keramat tersebut karena mereka percaya tidak ada sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong selain Allah SWT.
Pujian Hasbunallah wa ni’mal wakil, ni’mal maula wa ni’man nashir atau cukuplah Allah menjadi penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik pelindung. Dia adalah sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong














DAFTAR PUSTAKA
Eugrr, Steven. 2011. Definisi Pujian.
Hatta, Ahmad. 2006. Tafsir Qur’an Per Kata. Jakarta: Maghfirah Pustaka.
     Kadarisman, Effendi. 2010. Mengurai Bahasa Menyibak Budaya. Malang: UIN-MALIKI Press.
Suryani, Elis NS. 2012. Filologi. Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia.


















0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright 2009 Moh. Fajri