Jumat, 04 Juli 2014

PEMERTAHANAN BUDAYA JAWA OLEH IBU SINDER: PEREMPUAN TIGA MASA DALAM NOVEL IBU SINDER KARYA PANDIR KELANA



PENGANTAR
Novel Ibu Sinder yang selanjutnya disebut (IS) merupakan karya Pandir Kelana. Pandir Kelana lahir di Banjarnegara, Jawa Tengah pada 4 April 1925. Nama aslinya adalah Slamet Danusudirjo. Dia merupakan sedikit dari penulis sastra yang aktif dalam bidang kemiliteran. Pandir Kelana mempunyai kesukaan menulis novel berlatar sejarah salah satunya adalah Ibu Sinder (1983). Selain itu novel-novelnya seperti Kereta Api Terakhir (1981), Kadarwati: Wanita dengan Lima Nama (1982), Rintihan Burung Kedasih (1984), Suro Buldog: Orang Buangan Tanah Merah Boven Digul (1986), Bara Bola Api (1992), Merah Putih Golek Kencana (1992) juga berlatar sejarah.

Tokoh Raden Ajeng Winarti atau Ibu Sinder merupakan tokoh yang paling sering diceritakan dalam novel Ibu Sinder ini meskipun masih banyak tokoh lainnya. Suprapto merupakan seorang sinder atau pengawas perkebunan yang bekerja pada perkebunan milik Hendrik Van Hoogendorp. Winarti mendapat sebutan Ibu Sinder setelah menikah dengan Sinder Suprapto, mereka berdua mempunyai seorang anak bernama Suhono yang menjadi seorang insinyur. Pada masa penjajahan Belanda, kehidupan keluarga Winarti cukup tenang sebelum akhirnya Jepang menduduki Indonesia. Novel ini sendiri berlatar di Solo dan Jogja.
Kolonialisme bukanlah suatu proses identis dalam berbagai bagian dunia yang berbeda, tetapi dimanapun adanya selalu terjadi hubungan-hubungan yang paling kompleks dan traumatik dalam sejarah manusia antara para penduduknya dengan para pendatang baru. Maka kolonialisme bisa didefinisikan sebagai penaklukan dan penguasaan atas tanah dan harta benda rakyat lain (Loomba, 2003:2). Menurut The New Encyclopedia of Britanica dalam Ariffin Muhammad disebutkan bahwa : “Feminism is the belief, largely originating in the West, in the social, economic, and political equality of the sexes, represented worldwide by various institutions committed to activity on behalf of women’s rights and interests”. (Feminisme adalah keyakinan yang berasal dari Barat berkaitan dengan kesetaraan sosial, ekonomi dan politik antara lelaki dan perempuan yang tersebar ke seluruh dunia melalui organisasi yang bergerak atas nama hak-hak dan kepentingan perempuan). Feminisme adalah kesadaran akan ketidakadilan jender yang menimpa kaum perempuan, baik dalam keluarga maupun masyarakat, serta tindakan sadar oleh perempuan maupun lelaki untuk mengubah keadaan tersebut.
Dasar pandangan feminis poskolonialisme ini berakar di penolakan universalitas pengalaman perempuan. Pengalaman perempuan yang hidup di negara dunia ketiga (koloni/bekas koloni) berbeda dengan perempuan berlatar belakang dunia pertama. Perempuan dunia ketiga menanggung beban penindasan lebih berat karena selain mengalami pendindasan berbasis gender, mereka juga mengalami penindasan antar-bangsa, suku, ras, dan agama. Wacana feminis akademik pada umumnya mempertahankan sebuah pembedaan yang tajam antara Anglo-Amerika serta feminisme prancis (Ray 2014:161). Dimensi kolonialisme menjadi fokus utama feminisme poskolonial yang pada intinya menggugat penjajahan, baik fisik, pengetahuan, nilai-nilai, cara pandang, maupun mentalitas masyarakat.
Novel Ibu Sinder karya Pandir Kelana ini cukup menarik karena terdapat tiga masa, yaitu masa penjajahan Belanda, masa penjajahan Jepang sampai pada masa kemerdekaan Indonesia. Tulisan ini akan memaparkan pertanyaan, bagaimana bentuk pemertahanan budaya Jawa oleh ibu sinder?
1.             Ibu Sinder: Refleksi Perempuan Jawa Pemangku Adat
Raden Ajeng Winarti atau Ibu Sinder merupakan perempuan keturunan ningrat yang hidup pada masa penjajahan Belanda, Jepang, dan pada saat masa kemerdekaan Indonesia. Winarti menggambarkan bagaimana sosok perempuan Jawa pada saat itu. Dia dididik seperti anak-anak gadis kerabat keraton lainnya. Disamping pendidikan formal gaya keraton, dia juga diasuh secara khusus oleh ayah ibu dan bibi-bibinya. Winarti termasuk anak gadis yang serba ingin tahu, cerdas otak dan memiliki ingatan yang kuat. Dari bibi Mari dia mewarisi kepandaian meramu jamu-jamu dan bahan-bahan kecantikan tradisional. Winarti memperoleh keterampilan masak-memasak dan sulam-menyulam di bawah bimbingan Bibi Senik dan ibu kandungnya sendiri. Ibu Bendoro mengajarkan Winarti keterampilan batik-membatik. Pengetahuan dan keterampilan seni kebudayaan diterimanya dari ayahnya sendiri yaitu BRM Kusumojati yaitu seorang bangsawan yang mempunyai empat istri dan simpanan di berbagai tempat.
(1)   Wajar-wajar saja bagi seorang bangsawan terhormat waktu itu untuk punya “simpanan” di mana-mana. (IS/15)
Namun di atas segala keterampilan yang didapatkan oleh Winarti, Bibi Dumilah dianggap orang yang bisa membentuk watak dan kepribadiannya. Melatih olah pikir dan memperluas cakrawala angan-angan dan jangkauan pengetahuannya sampai melintasi tembok-tembok tinggi di Kusumojaten tempat tinggalnya. Winarti sangat berbeda dengan adiknya Winarsih yang tidak menyukai budaya Jawa.   
(2)   Winarsih anak yang sulit dikendalikan. Jiwa bebasnya tidak mau tunduk kepada segala tradisi dan aturan adat yang dirasakannya sebagai perintang kebebasan. (IS/15)

Meskipun sama-sama berasal dari keluarga ningrat, mereka berdua memang mempunyai perangai berbeda. Winarti tetap tinggal di dalem keraton sedangkan Winarsih dipondokkan pada Controleur Hartman yang merupakan sahabat karib dari Kusumojati. Keluarga Hartman yang kebetulan tidak mempunyai seorang anak itu sangat tertarik oleh kelincahan, keterbukaan, dan kebebasan Winarsih yang memang tingkah laku tersebut kurang berkenan di dalem Kusumojaten. Berkat asuhan Hartman, Winarsih berkembang menjadi anak gadis yang tertib dan cerdas. Dengan mudah dia menyelesaikan pendidikan dasarnya pada Europese Lagere School, sekolah rendah yang diperuntukkan bagi anak-anak Belanda. Tiga tahun kemudian dia memperoleh Diploma Sekolah Menengah, MULO. Tingkat pendidikan yang pada saat itu cukup tinggi apalagi bagi seorang wanita. Karena lama didik dengan budaya Belanda membuat Winarsih menganggap dirinya bukan orang Jawa lagi melainkan orang belanda.
(3)   Memang serba kebalikan. Sliramu Landa, aku Jawa.( IS/86)
Hal tersebut tidak membuat hubungan mereka merenggang. Keduanya tetap menjalin hubungan baik sampai mereka berdua sama-sama berkeluarga dan mempunyai seorang anak bernama Suhono dan Herman. Pada awalnya Winarti sempat iri dengan Winarsih yang bisa mengenyam pendidikan bahasa belanda. Tetapi itu di buangnya jauh-jauh. Winarti merasa bersalah dan menyesal ketika harus iri kepada adiknya, bagi Winarti sudah menjadi darah daging segala bentuk adat atau budaya Jawa khususnya yang dia dapat dari keraton. Buku-buku tulisan tangan berhuruf Jawa sangat ia tekuni. Sera-serat seperti Babad Tanah Jawa juga tidak lepas dari pandangannya, tidak lupa tokoh pewayangan dia pelajari dengan tekun.
(4)   Ya, Allah, ampunilah hamba-hamba-MU. Mereka sedang alpa dan tidak sadar akan perbuatannya. Ya Allah, jauhkanlah hamba-Mu ini dari rasa dendam dan amarah. Amin. (IS/20)

(5)   Dengan ketekunan yang mengagumkan diejanya berulang-ulang. Serat kisah ramayana dan mahabarata. Tokoh-tokoh wayang itu hidup dalam angan-angan, tabiat, dan perangainya. (IS/17)

Mempelajari berbagai kebudayaan Jawa membuat Ibu Sinder selalu sabar dan rendah hati  jika mendapatkan suatu permasalahan termasuk permasalahan suaminya yang selingkuh dengan Fien Van Hoogendorp. Winarti menganggap hal tersebut lumrah dilakukan oleh seorang laki-laki seperti ayahnya dulu. Bahkan Winarti juga tidak menganggap Fien sebagai musuhnya.
(6)   Ah biarlah Mas Prapto merasa bahwa aku tidak tahu-menahu tentang hubungannya dengan istri majikannya. Tentu akan lebih menggairahkan baginya. (IS/36)
(7)   Wanita Indo ini bukan maruku, hakikatnya sama dengan “simpanan-simpanan” Ayah dulu. (IS/57)
Sebagai seorang perempuan normal seharusnya Winarti bisa marah dengan apa yang dilakukan oleh suaminya. Hanya saja dia membiarkan hubungan terlarang tersebut demi membuat hubungan diantara dia dan suaminya, serta suaminya dengan majikannya tetap berjalan baik. Perlakuan menyimpang tersebut dianggap sebagai perbuatan yang wajar dilakukan oleh suaminya yang memang menjadi pujaan banyak wanita termasuk Fien. Winarti memegang erat apa yang diajarkan ibu dan bibinya sebelum menikah, bahwa lelaki di dalam rumah itu memang menjadi seorang suami bagimu, tetapi jika di luar rumah kita tidak tahu lagi, jadi Winarti harus sabar dan ihlas sebagai seorang perempuan yang memegang erat budaya Jawa.

2.        Wujud Pemertahanan Budaya Oleh Ibu Sinder
2.1  Membatik
2.1.1        Membatik Pada Masa Penjajahan Belanda
Membatik merupakan kebiasaan yang sudah lama ada di Indonesia termasuk pada zaman penjajahan. Seperti kita ketahui bahwa perempuan pada masa itu sangat terbatas untuk bisa melakukan sesuatu, salah satu hal yang bisa dilakukan adalah membatik. Winarti merupakan salah satu perempuan pada zaman penjajahan Belanda yang tidak pernah lupa untuk melakukan kegiatan membatik, apalagi jika banyak waktu kosong. Pada zaman belanda, membatik hanya digunakan Winarti untuk mengisi waktu luang, khususnya jika di tinggal suaminya pergi bekerja maupun keluar rumah.
(8)   Sementara itu, sepeninggal suaminya, Ibu Sinder langsung melanjutkan membatik membatik di beranda belakang rumahnya. (IS/34)
(9)   Seperti biasa, Suprapto menegur. “Belum tidur Bu?” lalu jawab Ibu Sinder. “Aku ingin kain batik ini lekas selesai.” (IS/37)
Pada beberapa kutipan diatas sudah bisa dijelaskan bahwa membatik memang sudah menjadi kebiasaan dari Ibu Sinder. Winarti membatik disamping untuk mengisi waktu luang, juga untuk berjaga-jaga jika ada keperluan untuk memakai kain batik seperti saat Winarti sekeluarga mendapat undangan Hendrik Van Hoogendorp atau majikan Suprapto suaminya untuk merayakan keberhasilan Suhono anak kandung Suprapto dan Winarti yang berhasil menjadi seorang insinyur.
(10)           Ia tidak hendak mengecewakan anaknya yang malam itu menjadi tamu kehormatan. Ibu Sinder mengenakan pakaian gaya Solo yang hanya boleh dipakai oleh seorang wanita bangsawan keraton. Kain batik “Merak Reraton” gubahannya, (IS/53)
Memakai batik memang mempunyai daya tarik tersendiri bagi pemakainya. Seperti apa yang dirasakan oleh Ibu Sinder, banyak yang menyukai dia memakai batik ketika datang di undangannya Hendrik Van Hoogendorp. Suprapto dan Suhono sangat mengagumi Ibu Sinder ketika memakai batik, begitu pula Hendrik. Menggunakan batik akan membuat kita mempunyai nilai lebih. Terlepas dari berbagai keunggulan membatik, tetap saja membatik pada masa penjajahan bisa dikatakan menjadi usaha paling lemah yang dilakukan oleh kebanyakan perempuan, termasuk yang dilakukan oleh Ibu Sinder. Tidak ada lagi yang bisa dikerjakan selain kodrat sebagai seorang istri yang harus melayani suami.

2.1.2        Membatik Pada Masa Penjajahan Jepang
Pada masa penjajahan Jepang, kehidupan Winarti sangat berbeda dengan kehidupan pada masa penjajahan Belanda. Winarti harus pindah tempat tinggal di kota Jogja tanpa sanak saudara termasuk tanpa suami dan anaknya. Salah satu hal yang menjadi persamaan dari kebiasaan Winarti adalah dia tidak pernah lepas dari yang namanya membatik. Di Jogja Winarti menemukan teman yang suka membatik dan juga menjadi tengkulak. Ketika dulu masa penjajahan Belanda dia membatik hanya menunggu suaminya pulang dari bekerja. Winarti kini semakin giat membatik karena banyak waktu luang sembari menunggu kembalinya Suhono yang hilang, Winarti yakin jika anaknya masih hidup.
(11)           Dan seperti biasanya pagi itu Ibu Sinder sedang tekun membatik. (IS/105)
(12)           Pagi itu seperti hari-hari sebelumnya Ibu Sinder sedang asyik membatik. Tiba-tiba terdengar suara sentuhan bakiak-bakiak pada lantai lorong di muka rumah. (IS/108)
Membatik sepertinya sudah menjadi darah daging dari Ibu Sinder. Dimanapun tempatnya dia tidak pernah lupa untuk membatik. Bedanya pada masa penjajahan Belanda dia membatik hanya untuk mengisi waktu luang, tetapi pada masa penjajahan Jepang Winarti membatik nantinya akan menjadi salah satu bentuk penghasilan.
2.1.3        Membatik Pada Masa Kemerdekaan
Setelah perjalanan panjang akhirnya Indonesia memperoleh kemerdekaan setelah berhasil mengalahkan penjajah khususnya tentara Dai Nippon. Pada masa ini Ibu Sinder bukan hanya tetap tekun dengan kegiatan membatiknya. Ibu Sinder juga mengajarkan bagaimana cara membatik kepada orang-orang di sekelilingnya termasuk kepada para pekerja seks komersial yang sehari-hari selalu bermain kerumah Ibu Sinder.
(13)           Hari Minggu pagi-pagi Ibu Sinder sedang asyik membatik. Suasana tenang dan damai di rumah yang sederhana itu, seolah-olah suasana revolusi tidak menyentuh kehidupan wanita berusia lepas setengah abad itu. (IS/119)
(14)           Lagi-lagi Ibu Sinder dikejutkan  oleh kedatangan wanita-wanita yang begitu saja masuk dan langsung ikut duduk diatas tikar pembatikan, mengelilingi Ibu Sinder. Ibu Sinder terus saja asyik membatik seperti tiidak menghiraukan kehadiran wanita-wanita itu. IS/119
Pada masa kemerdekaan ini, Winarti masih tetap saja tekun membatik. Dia membatik sekarang bukan hanya untuk dirinya sendiri. Saat ini Winarti juga mengajarkan membatik kepada wanita disekelilingnya. Winarti berhasil membuat beberapa orang meninggalkan dunia pelacuran hanya untuk membatik.
2.2 Cerita Pewayangan
Terlepas kelemahan Ibu Sinder dalam memahami baca tulis, dia tidak kekurangan cara dalam memahami suatu kejadian maupun permasalahan yang sedang dihadapi. Ibu Sinder selalu mengaitkan berbagai kejadian dengan cerita pewayangan yang diketahuinya dari keluarga keraton dan tentunya dari buku cerita yang menggunakan bahasa Jawa. Hal tersebut selalu mengiringi perjalanan kehidupannya baik pada masa penjajahan Belanda, Jepang sampai pada masa kemerdekaan negara republik Indonesia. Seperti pada saat kejadian Suprapto suaminya selingkuh dengan Fien istri dari majikannya dan juga Suhono anaknya menjalin berhubungan dengan Ivonne. Ibu Sinder langsung menghubungkan dengan cerita pewayangan.
(15)           Apa jadinya nanti. Ah seperti Arjuna dengan Banowati saja. Anak-anaknya juga berpacaran. (IS/64)
(16)           Dalam cerita wayang ada kisah yang mirip. Raden Arjuna dan Dewi Banowati permaisuri Jokopitono. Dua-duanya membiarkan anak-anaknya bermain cinta. Itu cerita wayang, tetapi hal semacam itu tidak mustahil bisa terjadi dalam kehidupan kita. (IS/67)
Ibu Sinder juga rutin menceritakan kisah pewayangan tersebut kepada para pekerja seks komersial yang selalu bermain kerumahnya. Dari cerita yang dilantunkan Ibu Sinder menjadi sebuah hiburan tersendiri bagi mereka yang setiap hari pekerjaannya hanya melayani laki-laki hidung belang. Para wanita tersebut sudah menganggap Ibu Sinder sebagai Ibu mereka sendiri meskipun bukan Ibu kandung. Begitu pula Ibu Sinder juga menganggap mereka sudah seperti anaknya sendiri.
(17)           Kemudian Ibu Sinder berkidung mengisahkan kemesraan Romowijoyo dan Dewi Sinto. (IS/113)
Pada saat Ibu Sinder mendengarkan sebuah berita dari radio. Berita di radio tersebut memberitakan bahwa ada sebuah kejadian Muso dan kawan-kawannya berkhianat dengan memproklamasikan berdirinya Republik Soviet di Madiun. Pemerintah akan bertindak tegas terhadap penghianatan itu. Ibu Sinder sebenarnya kurang begitu paham dengan berita tersebut. Tetapi lagi-lagi dia menghubungkan dengan cerita pewayangan untuk memahaminya.
(18)           Hakikatnya seperti Prabu Anom Kongsodewo saja yang membentuk negara dalam negara Mandura, memberontak terhadap kekuasaan Prabu Basudewa. (IS/143)
Suatu hari Herman anak Winarsih atau keponakan Winarti sedang berkunjung ke rumah Ibu Sinder. Herman merupakan salah satu orang yang ikut berjuang melawan penjajah khususnya tentara Dai Nippon. Herman menceritakan kepada Ibu Sinder bagaimana kejadian yang dialaminya ketika dia mengikuti gerakan untuk menumpas pemberontakan. Pada akhir ceritanya, Herman menjelaskan perang saudara jauh lebih kejam sifatnya daripada perang biasa. Ibu Sinder langsung saja menghubungkan kejadian tersebut dengan cerita pewayangan yang sekaligus menjadi sebuah pelajaran dan nasihat yang berharga untuk Herman secara pribadi.
2.3. Berbahasa Jawa
Berbicara menggunakan bahasa Jawa merupakan sesuatu yang dianggap rendah pada masa penjajahan. Banyak orang Indo-Belanda yang malu menggunakan bahasa Jawa dalam berkomunikasi meskipun sebenarnya dia bisa menggunakan bahasa Jawa dengan baik. Bisa berbicara menggunakan bahasa Belanda meskipun salah logat akan tetap dianggap orang tersebut lebih tinggi derajatnya. Hal tersebut dilakukan oleh istri sinder lain khususnya yang berasal dari Indo-Belanda termasuk Fien Van Hoogendorp yang sebenarnya juga bisa menggunakan bahasa Jawa dalam berkomunikasi.
(19)           Sambil tertawa-tawa kecil nyonya-nyonya itu menyapa wanita yang berjalan menunduk itu dengan kata-kata dalam bahasa Belanda yang melanggar segala aturan gramatika. Kata salah seorang “Morgen mevrouw, jij morgen halen mijn was yaa”. (IS/13)
(20)           Fien yang menguasai bahasa Jawa, tetapi ia malu untuk menggunakannya. Berbahasa Jawa akan merendahkan derajatnya sebagai seorang istri Belanda totok yang berkedudukan tinggi. (IS/63)
Hal tersebut tidak berlaku kepada Winarti, dia tetap memegang teguh berbahasa Jawa dalam berkomunikasi dengan siapapun. Bukan masalah dia tidak bisa menggunakan bahasa Belanda, sebenarnya dia bisa belajar berbahasa Belanda seperti yang dilakukan Winarsih. Winarti bukan orang yang sudah tidak mau belajar, ketika di Jogja dia masih semangat belajar membaca tetapi bukan bahasa Belanda yang dia pelajari. Winarti lebih memilih belajar membaca bahasa Indonesia. Tetapi untuk berkomunikasi dia tetap menggunakan bahasa Jawa.
(21)           Begitu kerasnya kemauan kemauan Ibu. Setua Bude masih mau belajar. Tekun mengikuti perkembangan keadaan. Menjelajah isi koran. (IS/141)
(22)           Orang tak akan pernah terlalu tua untuk belajar Ngger. Apa yang masih dapat kukejar akan terkejar. (IS/141)

Sebenarnya kalau Winarti mau untuk belajar bahasa Belanda, pasti dia bisa. Hanya saja Winarti tidak mempelajarinya. Dia malah memperdalam bahasa Jawa dan mempelajari bahasa Indonesia hanya sekadar dia bisa membaca koran untuk mendapatkan berita atau mengetahui perkembangan yang terjadi.
3.         Strategi Bertahan Hidup
3.1  Zaman Penjajahan Belanda
Kehidupan Winarti sebelum menikah terbilang cukup istimewa. Dia hidup dari keluarga ningrat dan diasuh juga dididik oleh empat orang yaitu Ibu kandungnya dan ketiga bibinya. Ketika Winarti sudah menikah dengan Sinder Suprapto pada zaman penjajahan Belanda, kehidupan Ibu Sinder hampir sama seperti kehidupan perempuan yang mempunyai suami pada umumnya. Dia hanya  mengerjakan apa yang harus dia kerjakan sebagai istri dan ibu rumah tangga yang baik. Dia menyiapkan apa saja keperluan suami sebelum bekerja dan sesudah bekerja. Winarti hanya menunggu nafkah dari suaminya untuk kehidupan sehari-hari.
(23)           Suprapto membuka sepatunya lalu langsung pergi ke kamar mandi. Segala sesuatunya sudah disiapkan oleh istrinya.(IS/37)
(24)           Sudah tersedia di atas tikar minuman teh panas dan gula merah. Suprapto memang suka minum teh dengan gula merah, gula jawa. (IS/37)
Disamping menyiapkan segala keperluan suami, Ibu Sinder juga tetap menjalankan kebiasaannya seperti membatik dan membaca cerita pewayangan. Suprapto tidak pernah menyuruh Winarti untuk ikut dia bekerja di perkebunan. Bahkan ketika Winarti menyusul Suprapto ke perkebunan, para pekerja banyak yang terheran-heran.
(25)           Pekerja-pekerja kebun yang melihat Ibu Sinder berlari-lari itu berhenti bekerja sejenak. Terheran-heran meraka, bercampur rasa cemas. (IS/21)
(26)           Astaga, ada apa!Tak pernah Ndoro Ayu menyusul sejauh ini. Ayo cepat, cepat! (IS/22)
Pada kutipan tersebut menjelaskan bagaimana Winarti pada masa penjajahan Belanda hanya menjadi seorang istri yang baik bagi Suprapto. Dia hanya menunggu nafkah dari Suprapto untuk keperluan sehari-hari. Suprapto tidak pernah menyuruh Winarti untuk bekerja yang menghasilkan uang maupun menyuruh dia untuk ikut ke perkebunan.

3.2  Masa Penjajahan Jepang
Pada bulan Maret tahun 1942, Jenderal Ter Poorten di Kalijati menandatangani penyerahan tanpa syarat tentara Hindia Belanda kepada bala tentara Dai Nippon dengan pusat pemerintahan tetap di Batavia tetapi dengan nama barunya Jakarta. Kehidupan Winarti yang dulunya dari keluarga ningrat kemudian dipersunting oleh seorang sinder harus berubah drastis ketika Jepang menduduki Indonesia khususnya di Madugondo. Perkebunan yang dulunya dikelola oleh Hendrik Van Hoogendorp orang Belanda, kini harus jatuh ditangan pemerintah kolonial Jepang yang terkenal kejam dalam menghukum para pekerjanya yang mereka anggap berbuat kesalahan sekecil apapun.
Kehidupan Ibu Sinder semakin tidak karuan ketika Suhono anaknya juga ikut ditangkap oleh pemerintah Jepang dan selang beberapa waktu kemudian suaminya meninggal dunia karena tersambar petir ketika sedang bekerja. Rumah yang ditempati Ibu Sinder akan diambil alih oleh Jepang, Ibu Sinder diberi waktu untuk segera pindah dari rumah tersebut. Ibu Sinder segera saja mencari tempat tinggal baru.
(27)           Penguasa Nippon Madugondo hanya memberikan waktu satu setengah bulan kepada Ibu Sinder untuk mengosongkan rumah dinas itu dan hanya dalam waktu sebulan rumah dinas itu sudah bisa dikosongkan. (IS/90) 
Ibu Sinder tidak ingin berlama-lama di Madugondo. Dia langsung mencari tempat tinggal baru. Sebelumnya dia mampir dirumah Winarsih yang tinggal di Semarang. Winarti akhirnya harus pindah dari Madugondo menuju ke Jogja tepatnya di kampung Balokan. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan rumah baru yang di tempati oleh Winarti. Hanya saja rumah baru itu berada diantara pemondokan atau tempat tinggal para gadis pekerja seksual. Di tempat tinggal baru itu, Winarti sangat mudah bersosialisasi dengan warga sekitar. Untuk menyambung hidup di tempat tinggal barunya, Winarti mengubah membatik yang dulu hanya kebiasaannya kini dia ubah menjadi penghasilannya untuk bertahan hidup. Batik hasil karya Winarti selalu mendapat pesanan sehingga dia tidak lagi bingung menggantungkan hidup setelah ditinggal suaminya.
(28)           Kalau nanti Ibu membatik lagi, hasilnya jangan diberikan orang lain ya Bu. Aku nanti yang menjualkan. (IS/92)
(29)           Ibu Sinder masih tetap mengandalkan kehidupan pada pembatikannya yang tidak kurang pemesan. (IS/102)
Selain dengan membatik untuk bertahan hidup, Winarti juga menjadi seorang pedagang dan juga berjualan jamu. Winarti mulai membuat jamu ketika ada seorang induk semang para wanita pekerja seks komersial bertamu kerumahnya untuk meminta maaf karena dia sering marah-marah, pusing sampai kehilangan keseimbangan jika sedang memarahi para wanita yang berada dirumahnya tanpa terkontrol. Ibu Sinder tahu kalau sebenarnya Ibu tersebut mengidap penyakit darah tinggi. Ibu Sinder langsung membuatkan jamu dan setelah itu Ibu tersebut bisa sembuh. Kesembuhan Ibu tersebut menarik perhatian warga sehingga banyak warga yang kurang enak badan meminta Ibu Sinder untuk membuatkan jamu. Dari membuat jamu ini Ibu Sinder bisa mendapatkan penghasilan tambahan untuk bertahan hidup selain dia masih terus membatik.
(30)           Baik, kalau begitu besok kemari lagi ya Dik. Jamunya akan kusiapkan. (IS/101)
Pada awalnya Ibu Sinder hanya membuatkan jamu kepada yang memesan tanpa dipungut biaya sepeserpun. Dia cukup senang karena bisa membantu orang disekitarnya. Hanya saja semakin lama semakin banyak yang memesan jamu, sehingga dia terpaksa harus meminta biaya sekadar untuk pembelian bahan bakunya.

3.3          Masa Kemerdekaan Indonesia
Waktu terus berputar, tanpa terasa Indonesia sudah merdeka dan membuat segalanya berubah. Termasuk kehidupan Ibu Sinder yang  juga ikut berubah menjadi lebih baik. Ketika masa penjajahan Jepang Ibu Sinder bertahan hidup salah satunya dengan membatik, kini pada saat Indonesia sudah merdeka Ibu Sinder masih saja tetap membatik. Bahkan Ibu Sinder mengajarkan membatik kepada para orang-orang disekelilingnya termasuk para wanita pekerja seks komersial.
(31)           Apa kami boleh belajar membatik Bu? Siapa tahu, kalau kami dilarang melacurkan diri oleh Ngarsa Dalem lalu bagaimana? Kami harus punya kepandaian lain. Kata Tinah. (IS/116)
Disamping tetap membatik, Ibu Sinder kini mempunyai sebuah usaha baru yang sedang ramai diperbincangkan banyak orang.
(32) Tidak hanya hidangan masakannya saja yang menjadi buah bibir, tetapi si pemilik warung pun mengundang perhatian orang. (IS/5)
Ibu Sinder sekarang membuka sebuah warung yang sangat terkenal. Warung tersebut bernama warung Climen yang mempunyai arti warung sederhana. Disamping karena masakannya yang enak, warung tersebut juga ramai karena pemiliknya banyak diperbincangkan. Ibu Sinder membiarkan orang-orang berbicara apa saja karena itu ternyata bisa membuat warungnya semakin ramai. Setelah membuka war Ibu Sinder kini mendapat nama panggilan baru yaitu Ibu Climen
                                                                                                      
4.      Ibu Sinder: Perempuan Tiga Zaman
4.1  Zaman Belanda
Belanda datang ke Indonesia awalnya dengan niat dagang. Didorong keserakahan kegiatan dagang itu kemudian disertai dengan jalan kekerasan untuk mengamankan kelancaran dagang. Kepada mereka yang mengganggu kepentingan dagang diperlakukan dengan kejam tetapi kepada mereka yang tidak mengganggu dan malah membantu, diperlakukan dengan baik, diberi pendidikan dan diberi kebebasan berpikir. Bangsa Belanda sebenarnya juga mengagumi Indonesia
(33)Kau Ivo, Indie begitu indah ya. (IS/8)
(34)Indah, indah lingkungan ini. Holland dan Insulinde, tambatan hatiku. (IS/64)
Kutipan diatas menunjukkan bagaimana bangsa Belanda mengagumi keindahan bangsa Indonesia yang diungkapkan oleh Hendrik Van Hoogendorp pemilik perkebunan yang ada di Madugondo tempat Ibu Sinder tinggal. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa Indonesia mempunyai daya tarik tersendiri khususnya bagi orang asing termasuk Belanda. Hal tersebut berlaku sampai sekarang, terbukti banyak sekali wisatawan asing yang mengagumi keindahan negara Indonesia.
Ibu Sinder menganggap tidak ada permasalahan yang berarti ketika Belanda menjajah Indonesia. Terlepas dari perempuan Indo-Belanda yang sering menghina dia, orang Belanda sebenarnya juga baik termasuk Hendrik Van Hoogendorp yang menjadi pimpinan tempat dari suaminya bekerja. Hendrik sangat menghormati budaya Jawa, termasuk kepada Winarti, Hendrik juga menghormatinya. Banyak yang mempertanyakan kanapa Hendrik Van Hoogendorp begitu menghormati Winarti.
(35)Ibu Sinder hanya hanya seorang istri Sinder. Mengapa administrator itu begitu menaruh hormat padanya? (IS/55)
Ibu Sinder juga menghormati orang-orang Belanda seperti Hendrik Van Hoogendorp sekeluarga dan yang lainnya termasuk para sinder keturunan Belanda. Ibu Sinder bahkan tidak marah ketika mengetahui suaminya selingkuh dengan Fien Van Hoogendorp dan hanya menganggap itu sudah menjadi kebiasaan seperti yang dilakukan oleh ayahnya dulu. Ibu Sinder menganggap Fien sebenarnya perempuan yang baik terlepas dia selingkuh dengan suaminya, Winarti tidak menganggap Fien sebagai musuh.
(36)Wanita Indo ini bukan maruku, hakikatnya sama dengan “simpanan-simpanan” Ayah dulu. (IS/57)
Secara keseluruhan Ibu Sinder perempuan ningrat yang memegang erat budaya Jawa ini menerima segala perlakuan yang dilakukan oleh Belanda terhadap Indonesia khususnya di Madugondo. Dia hanya takut perselingkuhan suaminya suatu saat akan diketahui oleh Suhono anaknya yang juga menjalin hubungan dengan Ivonne anak dari Fien dan Hendrik majikannya, pada saat ini Winarti belum merestui hubungan Suhono dengan Ivonne hanya karena perasaan takut melihat suaminya juga menjalin hubungan dengan ibunya Ivonne.
4.2          Zaman Jepang
Jepang datang ke Indonesia dengan tujuan mengamankan pemasukan bahan baku untuk kepentingan industri mereka. Jepang memang datang untuk menjajah dan bercita-cita menyatukan seluruh Asia di bawah kekuasaan Jelang. Banyak orang yang dianggap menentang penjajahan Jepang diperlakukan dengan amat kejam, demikian juga banyak wanita dijadikan pemuas nafsu tentara Jepang. Banyak pertanyaan dan keraguan yang timbul pada saat Jepang menduduki Indonesia.
(37)Terus terang Bu, mula-mula dalam hati kusambut hangat kedatangan Nippon di bumi kita ini, tetapi lambat laun aku sangsi. Benarkah Nippon akan memerdekakan kita? (IS/76)
Pasukan Jepang melakukan hukuman tidak pandang dia melakukan kesalahan atau tidak. Jika ada yang terlihat kurang baik di hadapan mereka, maka pukulan maupun tendangan sudah menjadi santapan wajib bagi warga Madugondo termasuk para sinder yang dahulu ketika masa Belanda terpandang, kini mereka tidak ada artinya. Keluarga Hendrik Van Hoogendorp beserta orang-orang Belanda-Indo di angkut dengan truk dan dibawah ke suatu tempat. Hal tersebut juga terjadi kepada sinder-sinder dan juga kepada Suhono. Suhono akhirnya terpisah dengan Ivonne. Madugondo benar-benar sudah diambil alih oleh tentara Jepang, banyak pribumi termasuk Suprapto yang tidak suka dengan tindak kekerasan yang dilakukan Dai Nippon. Tentara Jepang membuat Ibu Sinder tidak begitu nyaman, bahkan terkesan tidak suka. Pada masa penjajahan Belanda Ibu Sinder masih rela ketika melihat suaminya maupun pembesar lain di Madugondo mempunyai simpanan wanita, dia ihlas. Tetapi pada saat masa penjajahan Jepang dia tidak suka melihat tentara Jepang yang suka bermain wanita dan mempunyai simpanan.
(38)Pegawai-pegawai Belanda Indo ada yang terpaksa menyerahkan anak gadisnya kepada penguasa Jepang. (IS/76)
(39)Seperti Nippon-Nippon lainnya yang memegang kekuasaan, Kongga juga memelihara beberapa wanita gula-gula, di antaranya seorang wanita gadis Indo. (IS/77)
Setelah Ibu Sinder pindah ke Jogja dia malah dekat, hidup bersama dengan para wanita pekerja seks komersial disana. Dia menganggap itu sebagai hal yang wajar saja dan menganggap para wanita tersebut sebagai anaknya. Disamping melakukan rutinitas sehari-hari, dia keyakin bahwa Suhono masih hidup dan akan segera kembali menemuinya. Suatu hari Herman datang membawa kabar kalau dia bertemu dengan Ivonne di kamp interniran Bangkong, hal yang ditanyakan Ivonne adalah kabar dari Suhono dan Winarti. Winarti yang dulu takut melihat kedekatan Suhono dengan Ivonne kini merestui jika mereka menjalin cinta, apalagi mereka sudah sama-sama dewasa. 
(40)Ivo, kau masih ingat ibumu. Ya Tuhan, lindungilah anakku yang satu itu. (IS/107)
(41)Anakku Ngger, Ivo, begitu dalam cintamu kepada Suhono. Aku tidak mengira. Semoga tuhan melindungimu Ivo, gumam Ibu Sinder. (IS/118)
Secara keseluruhan Ibu Sinder tidak suka dengan kedatangan Jepang yang menjajah Indonesia. Jepang banyak membuat hidup Ibu Sinder berantakan. Terlepas dari suaminya yang meninggal karena tersambar petir, Jepang juga telah memisahkan dia dari Suhono anak kesayangannya karena Suhono diculik oleh tentara Jepang. Keyakinan Ibu Sinder adalah anaknya Suhono masih hidup dan akan segera menemuinya ketika Indonesia sudah merdeka. Pada saat masa penjajahan Belanda, Ibu Sinder tidak merestui hubungan anaknya dengan Ivonne. Kini Ibu Sinder sangat merestui hubungan Suhono dan Ivonne serta mendoakan yang terbaik untuk mereka berdua.

4.3 Zaman Kemerdekaan  
Kedatangan Jepang di Indonesia hanya seumur jagung jika dibandingkan dengan Belanda. Setelah sekian lama akhirnya Indonesia berhasil meraih kemerdekaan. Seperti ramalan Joyoboyo yang sering dibicarakan Ibu Sinder bersama Suprapto dulu. Semua orang pada saat itu pasti merasa senang mendengar Indonesia merdeka termasuk Ibu Sinder. Ibu Sinder kini semakin giat belajar dan mengajari para wanita untuk membatik, menjual jamu dan sebagainya sehingga nantinya mereka bisa mendapat pekerjaan. Semua itu berjalan dengan baik karena diantara mereka ada yang meninggalkan pekerjaannya sebagai pekerjaa seks komersial dan bekerja pada bidang lain.
(42)Ada yang menjadi penjual jamu keliling, penjual nasi pecel, menjadi pekerja batik, bahkan ada yang mampu membuka warung kecil-kecilan. (IS/125)
Ibu Sinder semakin berbahagia saat Suhono anaknya akhirnya kembali dan menemui dia di kediamannya. Tidak lama kemudian Ibu Sinder harus merelakan dan merestui Suhono yang akhirnya pada masa kemerdekaan ini menikah dengan Ivonne anak dari majikannya saat masih di Madugondo. Suhono dan Ivonne kemudian tinggal di negara Belanda, Herman keponakannya melanjutkan sekolah di luar negeri, sedangkan Ibu Sinder kini membuka sebuah warung makanan lokasinya tidak jauh dari Pesanggrahan Ambarukmo yang diberi nama Warung Climen atau warung sederhana.
SIMPULAN
Apa yang dipaparkan diatas menggambarkan bagaimana sosok Ibu Sinder seorang perempuan yang berasal dari keluarga ningrat yang mempertahankan budaya Jawa di tengah zaman kolonial yang melanda Indonesia. Bentuk-bentuk pemertahanan budaya Jawa oleh Ibu Sinder yaitu dengan membatik, bercerita tentang pewayangan, dan berbahasa Jawa. Ibu Sinder selalu membatik pada saat ketiga zaman tersebut untuk melestarikan budaya yang sudah turun temurun dari nenek moyang khususnya di Jawa. Dia selalu menghubungkan berbagai kejadian yang terjadi dengan cerita pewayangan sebagai bentuk mempertahankan budaya tersebut. Ibu Sinder tidak malu untuk selalu menggunakan bahasa Jawa dalam berkomunikasi meskipun dia sebenarnya bisa belajar bahasa Belanda seperti yang dilakukan oleh Winarsih adiknya.
Ibu Sinder bertahan hidup pada tiga masa tersebut dengan cara mengembangkan keterampilan yang diajarkan oleh keluarga keraton pada saat dia masih kecil. Pada masa penjajahan Belanda, Ibu Sinder hanya menjadi seorang istri atau ibu rumah tangga yang baik. Dia hanya menunggu nafkah dari suaminya yang bekerja sebagai seorang sinder atau pengawas perkebunan. Pada masa penjajahan Jepang, winarti mengubah membatik yang dulu hanya sebagai kebiasaan kini dia ubah menjadi penghasilan dengan cara menjualnya. Selain menjual batik, Ibu Sinder menjadi seorang pedagang dan juga berjualan jamu. Strategi bertahan hidup Ibu Sinder pada masa kemerdekaan Indonesia selain tetap mengembangkan usaha membatik dan berjualan jamu. Ibu Sinder kini juga membuka sebuah warung yang diberi nama warung Climen.
Ibu Sinder tidak begitu mempersoalkan Belanda saat menjajah Indonesia. Dia menganggap kebanyakan orang-orang Belanda cukup baik. Berbeda pada saat Jepang menjajah Indonesia, Jepang membuat kehidupan Winarti berantakan. Terlepas dari suaminya yang meninggal. Jepang telah memisahkan Winarti dengan sanak saudaranya, termasuk dengan anaknya sendiri. Pada saat Indonesia merdeka Ibu Sinder juga turut bersuka cita, apalagi dia bisa kembali bertemu dengan anaknya. Ibu Sinder juga bisa membantu para pekerja seks komersial lepas dari pekerjaannya dengan mengajari mereka berbagai keterampilan. Novel ini cukup menarik karena terdapat tiga masa, yaitu masa penjajahan Belanda, masa penjajahan Jepang sampai masa kemerdekaan Indonesia.
         










DAFTAR PUSTAKA
Amiruddin, Mariana. 2006. Jurnal Perempuan: Feminisme: Ilmu Pengetahuan Merindukan Kebenaran. Jakarta. Yayasan Jurnal Perempuan.
Ariffin, Muhammad. 2007. Gerakan Feminisme, Persamaan Gender dan Pemahaman Agama. Online, diakses pada 20 Juni 2014.
Arivia, Gadis. 2006. Letak Poskolonial dan Feminisme. Online, diakses pada 17 Mei 2014.
Damono, Sapardi Djoko. D. 1984. Sosiologi Sastra; Sebuah Pengantar. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Eko. D. 2012. Pengertian Feminisme dan Macam-Macam Jenis Feminisme. Online, diakses pada 12 Mei 2014.
Kelana, Pandir. 1983. Ibu Sinder. Jakarta: Sinar Harapan.
Loomba, Ania. 2003. Kolonialisme/Pascakolonialisme. Yogyakarta: Bentang Budaya.
Puspitawati, H. 2012. Jurnal: Gender dan Keluarga: Konsep dan Realita di Indonesia. Bogor. PT IPB Press.
Ray, Sangeeta. 2014. Gayatri Chakravotry Spivak: Sang Liyan. Denpasar: CV. Bali Media Adhikarsa.    

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright 2009 Moh. Fajri