PENGANTAR
Novel Ibu
Sinder yang selanjutnya disebut (IS) merupakan karya Pandir Kelana. Pandir
Kelana lahir di Banjarnegara, Jawa Tengah pada 4 April 1925. Nama aslinya
adalah Slamet Danusudirjo. Dia merupakan sedikit dari penulis sastra yang aktif
dalam bidang kemiliteran. Pandir Kelana mempunyai kesukaan menulis novel
berlatar sejarah salah satunya adalah Ibu
Sinder (1983). Selain itu novel-novelnya seperti Kereta Api Terakhir
(1981), Kadarwati: Wanita dengan Lima Nama (1982), Rintihan Burung
Kedasih (1984), Suro Buldog: Orang Buangan Tanah Merah Boven Digul
(1986), Bara Bola Api (1992), Merah Putih Golek Kencana (1992) juga
berlatar sejarah.
Tokoh Raden Ajeng Winarti atau Ibu
Sinder merupakan tokoh yang paling sering diceritakan dalam novel Ibu Sinder
ini meskipun masih banyak tokoh lainnya. Suprapto merupakan seorang sinder atau
pengawas perkebunan yang bekerja pada perkebunan milik Hendrik Van Hoogendorp.
Winarti mendapat sebutan Ibu Sinder setelah menikah dengan Sinder Suprapto,
mereka berdua mempunyai seorang anak bernama Suhono yang menjadi seorang
insinyur. Pada masa penjajahan Belanda, kehidupan keluarga Winarti cukup tenang
sebelum akhirnya Jepang menduduki Indonesia. Novel ini sendiri berlatar di Solo
dan Jogja.
Kolonialisme bukanlah suatu proses
identis dalam berbagai bagian dunia yang berbeda, tetapi dimanapun adanya
selalu terjadi hubungan-hubungan yang paling kompleks dan traumatik dalam
sejarah manusia antara para penduduknya dengan para pendatang baru. Maka
kolonialisme bisa didefinisikan sebagai penaklukan dan penguasaan atas tanah
dan harta benda rakyat lain (Loomba, 2003:2). Menurut The New Encyclopedia
of Britanica dalam Ariffin
Muhammad disebutkan bahwa : “Feminism
is the belief, largely originating in the West, in the social, economic, and
political equality of the sexes, represented worldwide by various institutions
committed to activity on behalf of women’s rights and interests”.
(Feminisme adalah keyakinan yang berasal dari Barat berkaitan dengan kesetaraan
sosial, ekonomi dan politik antara lelaki dan perempuan yang tersebar ke
seluruh dunia melalui organisasi yang bergerak atas nama hak-hak dan
kepentingan perempuan). Feminisme adalah kesadaran akan
ketidakadilan jender yang menimpa kaum perempuan, baik dalam keluarga maupun
masyarakat, serta tindakan sadar oleh perempuan maupun lelaki untuk mengubah
keadaan tersebut.
Dasar pandangan feminis
poskolonialisme ini berakar di penolakan universalitas pengalaman perempuan.
Pengalaman perempuan yang hidup di negara dunia ketiga (koloni/bekas koloni)
berbeda dengan perempuan berlatar belakang dunia pertama. Perempuan dunia
ketiga menanggung beban penindasan lebih berat karena selain mengalami
pendindasan berbasis gender, mereka juga mengalami penindasan antar-bangsa,
suku, ras, dan agama. Wacana feminis akademik pada umumnya mempertahankan
sebuah pembedaan yang tajam antara Anglo-Amerika serta feminisme prancis (Ray
2014:161). Dimensi kolonialisme menjadi fokus utama feminisme poskolonial yang
pada intinya menggugat penjajahan, baik fisik, pengetahuan, nilai-nilai, cara
pandang, maupun mentalitas masyarakat.
Novel Ibu
Sinder karya Pandir Kelana ini cukup menarik karena terdapat tiga masa, yaitu
masa penjajahan Belanda, masa penjajahan Jepang sampai pada masa kemerdekaan
Indonesia. Tulisan ini akan memaparkan pertanyaan, bagaimana
bentuk pemertahanan budaya Jawa oleh ibu sinder?
1.
Ibu
Sinder: Refleksi Perempuan Jawa Pemangku Adat
Raden Ajeng Winarti atau Ibu Sinder merupakan
perempuan keturunan ningrat yang hidup pada masa penjajahan Belanda, Jepang,
dan pada saat masa kemerdekaan Indonesia. Winarti menggambarkan bagaimana sosok
perempuan Jawa pada saat itu. Dia dididik seperti anak-anak gadis kerabat
keraton lainnya. Disamping pendidikan formal gaya keraton, dia juga diasuh
secara khusus oleh ayah ibu dan bibi-bibinya. Winarti termasuk anak gadis yang
serba ingin tahu, cerdas otak dan memiliki ingatan yang kuat. Dari bibi Mari
dia mewarisi kepandaian meramu jamu-jamu dan bahan-bahan kecantikan
tradisional. Winarti memperoleh keterampilan masak-memasak dan sulam-menyulam
di bawah bimbingan Bibi Senik dan ibu kandungnya sendiri. Ibu Bendoro
mengajarkan Winarti keterampilan batik-membatik. Pengetahuan dan keterampilan
seni kebudayaan diterimanya dari ayahnya sendiri yaitu BRM Kusumojati yaitu
seorang bangsawan yang mempunyai empat istri dan simpanan di berbagai tempat.
(1)
Wajar-wajar saja bagi seorang bangsawan
terhormat waktu itu untuk punya “simpanan” di mana-mana. (IS/15)
Namun di atas segala keterampilan yang didapatkan
oleh Winarti, Bibi Dumilah dianggap orang yang bisa membentuk watak dan
kepribadiannya. Melatih olah pikir dan memperluas cakrawala angan-angan dan
jangkauan pengetahuannya sampai melintasi tembok-tembok tinggi di Kusumojaten
tempat tinggalnya. Winarti sangat berbeda dengan adiknya Winarsih yang tidak
menyukai budaya Jawa.
(2)
Winarsih
anak yang sulit dikendalikan. Jiwa bebasnya tidak mau tunduk kepada segala
tradisi dan aturan adat yang dirasakannya sebagai perintang kebebasan. (IS/15)
Meskipun sama-sama berasal dari keluarga
ningrat, mereka berdua memang mempunyai perangai berbeda. Winarti tetap tinggal
di dalem keraton sedangkan Winarsih dipondokkan pada Controleur Hartman yang merupakan sahabat karib dari Kusumojati.
Keluarga Hartman yang kebetulan tidak mempunyai seorang anak itu sangat
tertarik oleh kelincahan, keterbukaan, dan kebebasan Winarsih yang memang
tingkah laku tersebut kurang berkenan di dalem Kusumojaten. Berkat asuhan
Hartman, Winarsih berkembang menjadi anak gadis yang tertib dan cerdas. Dengan
mudah dia menyelesaikan pendidikan dasarnya pada Europese Lagere School, sekolah rendah yang diperuntukkan bagi
anak-anak Belanda. Tiga tahun kemudian dia memperoleh Diploma Sekolah Menengah,
MULO. Tingkat pendidikan yang pada saat itu cukup tinggi apalagi bagi seorang
wanita. Karena
lama didik dengan budaya Belanda membuat Winarsih menganggap dirinya bukan
orang Jawa lagi melainkan orang belanda.
(3) Memang
serba kebalikan. Sliramu Landa, aku
Jawa.( IS/86)
Hal tersebut tidak membuat hubungan
mereka merenggang. Keduanya tetap menjalin hubungan baik sampai mereka berdua sama-sama
berkeluarga dan mempunyai seorang anak bernama Suhono dan Herman. Pada awalnya
Winarti sempat iri dengan Winarsih yang bisa mengenyam pendidikan bahasa
belanda. Tetapi itu di buangnya jauh-jauh. Winarti merasa bersalah dan menyesal
ketika harus iri kepada adiknya, bagi Winarti sudah menjadi darah daging segala
bentuk adat atau budaya Jawa khususnya yang dia dapat dari keraton. Buku-buku
tulisan tangan berhuruf Jawa sangat ia tekuni. Sera-serat seperti Babad Tanah Jawa juga tidak lepas dari
pandangannya, tidak lupa tokoh pewayangan dia pelajari dengan tekun.
(4)
Ya,
Allah, ampunilah hamba-hamba-MU. Mereka sedang alpa dan tidak sadar akan
perbuatannya. Ya Allah, jauhkanlah hamba-Mu ini dari rasa dendam dan amarah.
Amin. (IS/20)
(5)
Dengan
ketekunan yang mengagumkan diejanya berulang-ulang. Serat kisah ramayana dan
mahabarata. Tokoh-tokoh wayang itu hidup dalam angan-angan, tabiat, dan
perangainya. (IS/17)
Mempelajari berbagai kebudayaan Jawa
membuat Ibu Sinder selalu sabar dan rendah hati
jika mendapatkan suatu permasalahan termasuk permasalahan suaminya yang
selingkuh dengan Fien Van Hoogendorp. Winarti menganggap hal tersebut lumrah
dilakukan oleh seorang laki-laki seperti ayahnya dulu. Bahkan Winarti juga
tidak menganggap Fien sebagai musuhnya.
(6)
Ah biarlah Mas Prapto merasa bahwa aku
tidak tahu-menahu tentang hubungannya dengan istri majikannya. Tentu akan lebih
menggairahkan baginya. (IS/36)
(7) Wanita
Indo ini bukan maruku, hakikatnya
sama dengan “simpanan-simpanan” Ayah dulu. (IS/57)
Sebagai seorang perempuan normal
seharusnya Winarti bisa marah dengan apa yang dilakukan oleh suaminya. Hanya
saja dia membiarkan hubungan terlarang tersebut demi membuat hubungan diantara
dia dan suaminya, serta suaminya dengan majikannya tetap berjalan baik. Perlakuan
menyimpang tersebut dianggap sebagai perbuatan yang wajar dilakukan oleh
suaminya yang memang menjadi pujaan banyak wanita termasuk Fien. Winarti
memegang erat apa yang diajarkan ibu dan bibinya sebelum menikah, bahwa lelaki
di dalam rumah itu memang menjadi seorang suami bagimu, tetapi jika di luar
rumah kita tidak tahu lagi, jadi Winarti harus sabar dan ihlas sebagai seorang
perempuan yang memegang erat budaya Jawa.
2.
Wujud Pemertahanan Budaya Oleh Ibu Sinder
2.1 Membatik
2.1.1
Membatik Pada Masa Penjajahan Belanda
Membatik
merupakan kebiasaan yang sudah lama ada di Indonesia termasuk pada zaman
penjajahan. Seperti kita ketahui bahwa perempuan pada masa itu sangat terbatas
untuk bisa melakukan sesuatu, salah satu hal yang bisa dilakukan adalah
membatik. Winarti merupakan salah satu perempuan pada zaman penjajahan Belanda
yang tidak pernah lupa untuk melakukan kegiatan membatik, apalagi jika banyak
waktu kosong. Pada zaman belanda, membatik hanya digunakan Winarti untuk
mengisi waktu luang, khususnya jika di tinggal suaminya pergi bekerja maupun
keluar rumah.
(8) Sementara itu, sepeninggal suaminya, Ibu Sinder langsung
melanjutkan membatik membatik di beranda belakang rumahnya. (IS/34)
(9) Seperti biasa, Suprapto menegur. “Belum tidur Bu?” lalu
jawab Ibu Sinder. “Aku ingin kain batik ini lekas selesai.” (IS/37)
Pada beberapa kutipan diatas sudah bisa
dijelaskan bahwa membatik memang sudah menjadi kebiasaan dari Ibu Sinder.
Winarti membatik disamping untuk mengisi waktu luang, juga untuk berjaga-jaga
jika ada keperluan untuk memakai kain batik seperti saat Winarti sekeluarga
mendapat undangan Hendrik Van Hoogendorp atau majikan Suprapto suaminya untuk
merayakan keberhasilan Suhono anak kandung Suprapto dan Winarti yang berhasil
menjadi seorang insinyur.
(10)
Ia
tidak hendak mengecewakan anaknya yang malam itu menjadi tamu kehormatan. Ibu
Sinder mengenakan pakaian gaya Solo yang hanya boleh dipakai oleh seorang
wanita bangsawan keraton. Kain batik “Merak Reraton” gubahannya, (IS/53)
Memakai
batik memang mempunyai daya tarik tersendiri bagi pemakainya. Seperti apa yang
dirasakan oleh Ibu Sinder, banyak yang menyukai dia memakai batik ketika datang
di undangannya Hendrik Van Hoogendorp. Suprapto dan Suhono sangat mengagumi Ibu
Sinder ketika memakai batik, begitu pula Hendrik. Menggunakan batik akan
membuat kita mempunyai nilai lebih. Terlepas dari berbagai keunggulan membatik,
tetap saja membatik pada masa penjajahan bisa dikatakan menjadi usaha paling
lemah yang dilakukan oleh kebanyakan perempuan, termasuk yang dilakukan oleh
Ibu Sinder. Tidak ada lagi yang bisa dikerjakan selain kodrat sebagai seorang
istri yang harus melayani suami.
2.1.2
Membatik
Pada Masa Penjajahan Jepang
Pada masa penjajahan Jepang, kehidupan
Winarti sangat berbeda dengan kehidupan pada masa penjajahan Belanda. Winarti
harus pindah tempat tinggal di kota Jogja tanpa sanak saudara termasuk tanpa
suami dan anaknya. Salah satu hal yang menjadi persamaan dari kebiasaan Winarti
adalah dia tidak pernah lepas dari yang namanya membatik. Di Jogja Winarti
menemukan teman yang suka membatik dan juga menjadi tengkulak. Ketika dulu masa
penjajahan Belanda dia membatik hanya menunggu suaminya pulang dari bekerja.
Winarti kini semakin giat membatik karena banyak waktu luang sembari menunggu
kembalinya Suhono yang hilang, Winarti yakin jika anaknya masih hidup.
(11)
Dan
seperti biasanya pagi itu Ibu Sinder sedang tekun membatik. (IS/105)
(12)
Pagi
itu seperti hari-hari sebelumnya Ibu Sinder sedang asyik membatik. Tiba-tiba
terdengar suara sentuhan bakiak-bakiak pada lantai lorong di muka rumah. (IS/108)
Membatik
sepertinya sudah menjadi darah daging dari Ibu Sinder. Dimanapun tempatnya dia
tidak pernah lupa untuk membatik. Bedanya pada masa penjajahan Belanda dia
membatik hanya untuk mengisi waktu luang, tetapi pada masa penjajahan Jepang
Winarti membatik nantinya akan menjadi salah satu bentuk penghasilan.
2.1.3
Membatik Pada
Masa Kemerdekaan
Setelah perjalanan panjang akhirnya Indonesia
memperoleh kemerdekaan setelah berhasil mengalahkan penjajah khususnya tentara
Dai Nippon. Pada masa ini Ibu Sinder bukan hanya tetap tekun dengan kegiatan
membatiknya. Ibu Sinder juga mengajarkan bagaimana cara membatik kepada
orang-orang di sekelilingnya termasuk kepada para pekerja seks komersial yang
sehari-hari selalu bermain kerumah Ibu Sinder.
(13)
Hari
Minggu pagi-pagi Ibu Sinder sedang asyik membatik. Suasana tenang dan damai di
rumah yang sederhana itu, seolah-olah suasana revolusi tidak menyentuh
kehidupan wanita berusia lepas setengah abad itu. (IS/119)
(14)
Lagi-lagi
Ibu Sinder dikejutkan oleh kedatangan
wanita-wanita yang begitu saja masuk dan langsung ikut duduk diatas tikar
pembatikan, mengelilingi Ibu Sinder. Ibu Sinder terus saja asyik membatik
seperti tiidak menghiraukan kehadiran wanita-wanita itu. IS/119
Pada masa kemerdekaan
ini, Winarti masih tetap saja tekun membatik. Dia membatik sekarang bukan hanya
untuk dirinya sendiri. Saat ini Winarti juga mengajarkan membatik kepada wanita
disekelilingnya. Winarti berhasil membuat beberapa orang meninggalkan dunia
pelacuran hanya untuk membatik.
2.2
Cerita Pewayangan
Terlepas kelemahan Ibu Sinder dalam
memahami baca tulis, dia tidak kekurangan cara dalam memahami suatu kejadian
maupun permasalahan yang sedang dihadapi. Ibu Sinder selalu mengaitkan berbagai
kejadian dengan cerita pewayangan yang diketahuinya dari keluarga keraton dan
tentunya dari buku cerita yang menggunakan bahasa Jawa. Hal tersebut selalu
mengiringi perjalanan kehidupannya baik pada masa penjajahan Belanda, Jepang
sampai pada masa kemerdekaan negara republik Indonesia. Seperti pada saat
kejadian Suprapto suaminya selingkuh dengan Fien istri dari majikannya dan juga
Suhono anaknya menjalin berhubungan dengan Ivonne. Ibu Sinder langsung
menghubungkan dengan cerita pewayangan.
(15)
Apa
jadinya nanti. Ah seperti Arjuna dengan Banowati saja. Anak-anaknya juga
berpacaran. (IS/64)
(16)
Dalam
cerita wayang ada kisah yang mirip. Raden Arjuna dan Dewi Banowati permaisuri
Jokopitono. Dua-duanya membiarkan anak-anaknya bermain cinta. Itu cerita
wayang, tetapi hal semacam itu tidak mustahil bisa terjadi dalam kehidupan
kita. (IS/67)
Ibu
Sinder juga rutin menceritakan kisah pewayangan tersebut kepada para pekerja
seks komersial yang selalu bermain kerumahnya. Dari cerita yang dilantunkan Ibu
Sinder menjadi sebuah hiburan tersendiri bagi mereka yang setiap hari
pekerjaannya hanya melayani laki-laki hidung belang. Para wanita tersebut sudah
menganggap Ibu Sinder sebagai Ibu mereka sendiri meskipun bukan Ibu kandung.
Begitu pula Ibu Sinder juga menganggap mereka sudah seperti anaknya sendiri.
(17)
Kemudian
Ibu Sinder berkidung mengisahkan kemesraan Romowijoyo dan Dewi Sinto. (IS/113)
Pada
saat Ibu Sinder mendengarkan sebuah berita dari radio. Berita di radio tersebut
memberitakan bahwa ada sebuah kejadian Muso dan kawan-kawannya berkhianat
dengan memproklamasikan berdirinya Republik Soviet di Madiun. Pemerintah akan
bertindak tegas terhadap penghianatan itu. Ibu Sinder sebenarnya kurang begitu
paham dengan berita tersebut. Tetapi lagi-lagi dia menghubungkan dengan cerita
pewayangan untuk memahaminya.
(18)
Hakikatnya
seperti Prabu Anom Kongsodewo saja yang membentuk negara dalam negara Mandura,
memberontak terhadap kekuasaan Prabu Basudewa. (IS/143)
Suatu
hari Herman anak Winarsih atau keponakan Winarti sedang berkunjung ke rumah Ibu
Sinder. Herman merupakan salah satu orang yang ikut berjuang melawan penjajah
khususnya tentara Dai Nippon. Herman menceritakan kepada Ibu Sinder bagaimana
kejadian yang dialaminya ketika dia mengikuti gerakan untuk menumpas
pemberontakan. Pada akhir ceritanya, Herman menjelaskan perang saudara jauh
lebih kejam sifatnya daripada perang biasa. Ibu Sinder langsung saja
menghubungkan kejadian tersebut dengan cerita pewayangan yang sekaligus menjadi
sebuah pelajaran dan nasihat yang berharga untuk Herman secara pribadi.
2.3. Berbahasa Jawa
Berbicara
menggunakan bahasa Jawa merupakan sesuatu yang dianggap rendah pada masa
penjajahan. Banyak orang Indo-Belanda yang malu menggunakan bahasa Jawa dalam
berkomunikasi meskipun sebenarnya dia bisa menggunakan bahasa Jawa dengan baik.
Bisa berbicara menggunakan bahasa Belanda meskipun salah logat akan tetap
dianggap orang tersebut lebih tinggi derajatnya. Hal tersebut dilakukan oleh
istri sinder lain khususnya yang berasal dari Indo-Belanda termasuk Fien Van
Hoogendorp yang sebenarnya juga bisa menggunakan bahasa Jawa dalam
berkomunikasi.
(19)
Sambil tertawa-tawa kecil nyonya-nyonya
itu menyapa wanita yang berjalan menunduk itu dengan kata-kata dalam bahasa
Belanda yang melanggar segala aturan gramatika. Kata salah seorang “Morgen mevrouw, jij morgen halen mijn was
yaa”. (IS/13)
(20)
Fien yang menguasai bahasa Jawa, tetapi
ia malu untuk menggunakannya. Berbahasa Jawa akan merendahkan derajatnya
sebagai seorang istri Belanda totok yang berkedudukan tinggi. (IS/63)
Hal
tersebut tidak berlaku kepada Winarti, dia tetap memegang teguh berbahasa Jawa
dalam berkomunikasi dengan siapapun. Bukan masalah dia tidak bisa menggunakan
bahasa Belanda, sebenarnya dia bisa belajar berbahasa Belanda seperti yang
dilakukan Winarsih. Winarti bukan orang yang sudah tidak mau belajar, ketika di
Jogja dia masih semangat belajar membaca tetapi bukan bahasa Belanda yang dia
pelajari. Winarti lebih memilih belajar membaca bahasa Indonesia. Tetapi untuk
berkomunikasi dia tetap menggunakan bahasa Jawa.
(21)
Begitu
kerasnya kemauan kemauan Ibu. Setua Bude masih mau belajar. Tekun mengikuti
perkembangan keadaan. Menjelajah isi koran. (IS/141)
(22)
Orang
tak akan pernah terlalu tua untuk belajar Ngger. Apa yang masih dapat kukejar
akan terkejar. (IS/141)
Sebenarnya
kalau Winarti mau untuk belajar bahasa Belanda, pasti dia bisa. Hanya saja
Winarti tidak mempelajarinya. Dia malah memperdalam bahasa Jawa dan mempelajari
bahasa Indonesia hanya sekadar dia bisa membaca koran untuk mendapatkan berita
atau mengetahui perkembangan yang terjadi.
3.
Strategi
Bertahan Hidup
3.1 Zaman Penjajahan Belanda
Kehidupan
Winarti sebelum menikah terbilang cukup istimewa. Dia hidup dari keluarga
ningrat dan diasuh juga dididik oleh empat orang yaitu Ibu kandungnya dan
ketiga bibinya. Ketika Winarti sudah menikah dengan Sinder Suprapto pada zaman
penjajahan Belanda, kehidupan Ibu Sinder hampir sama seperti kehidupan
perempuan yang mempunyai suami pada umumnya. Dia hanya mengerjakan apa yang harus dia kerjakan
sebagai istri dan ibu rumah tangga yang baik. Dia menyiapkan apa saja keperluan
suami sebelum bekerja dan sesudah bekerja. Winarti hanya menunggu nafkah dari
suaminya untuk kehidupan sehari-hari.
(23)
Suprapto
membuka sepatunya lalu langsung pergi ke kamar mandi. Segala sesuatunya sudah
disiapkan oleh istrinya.(IS/37)
(24)
Sudah
tersedia di atas tikar minuman teh panas dan gula merah. Suprapto memang suka
minum teh dengan gula merah, gula jawa. (IS/37)
Disamping
menyiapkan segala keperluan suami, Ibu Sinder juga tetap menjalankan
kebiasaannya seperti membatik dan membaca cerita pewayangan. Suprapto tidak
pernah menyuruh Winarti untuk ikut dia bekerja di perkebunan. Bahkan ketika
Winarti menyusul Suprapto ke perkebunan, para pekerja banyak yang
terheran-heran.
(25)
Pekerja-pekerja
kebun yang melihat Ibu Sinder berlari-lari itu berhenti bekerja sejenak.
Terheran-heran meraka, bercampur rasa cemas. (IS/21)
(26)
Astaga,
ada apa!Tak pernah Ndoro Ayu menyusul sejauh ini. Ayo cepat, cepat! (IS/22)
Pada
kutipan tersebut menjelaskan bagaimana Winarti pada masa penjajahan Belanda
hanya menjadi seorang istri yang baik bagi Suprapto. Dia hanya menunggu nafkah dari
Suprapto untuk keperluan sehari-hari. Suprapto tidak pernah menyuruh Winarti
untuk bekerja yang menghasilkan uang maupun menyuruh dia untuk ikut ke
perkebunan.
3.2 Masa Penjajahan Jepang
Pada
bulan Maret tahun 1942, Jenderal Ter Poorten di Kalijati menandatangani
penyerahan tanpa syarat tentara Hindia Belanda kepada bala tentara Dai Nippon
dengan pusat pemerintahan tetap di Batavia tetapi dengan nama barunya Jakarta.
Kehidupan Winarti yang dulunya dari keluarga ningrat kemudian dipersunting oleh
seorang sinder harus berubah drastis ketika Jepang menduduki Indonesia
khususnya di Madugondo. Perkebunan yang dulunya dikelola oleh Hendrik Van
Hoogendorp orang Belanda, kini harus jatuh ditangan pemerintah kolonial Jepang
yang terkenal kejam dalam menghukum para pekerjanya yang mereka anggap berbuat
kesalahan sekecil apapun.
Kehidupan
Ibu Sinder semakin tidak karuan ketika Suhono anaknya juga ikut ditangkap oleh
pemerintah Jepang dan selang beberapa waktu kemudian suaminya meninggal dunia
karena tersambar petir ketika sedang bekerja. Rumah yang ditempati Ibu Sinder
akan diambil alih oleh Jepang, Ibu Sinder diberi waktu untuk segera pindah dari
rumah tersebut. Ibu Sinder segera saja mencari tempat tinggal baru.
(27)
Penguasa Nippon Madugondo hanya
memberikan waktu satu setengah bulan kepada Ibu Sinder untuk mengosongkan rumah
dinas itu dan hanya dalam waktu sebulan rumah dinas itu sudah bisa dikosongkan.
(IS/90)
Ibu Sinder tidak ingin
berlama-lama di Madugondo. Dia langsung mencari tempat tinggal baru. Sebelumnya
dia mampir dirumah Winarsih yang tinggal di Semarang. Winarti akhirnya harus
pindah dari Madugondo menuju ke Jogja tepatnya di kampung Balokan. Sebenarnya
tidak ada yang salah dengan rumah baru yang di tempati oleh Winarti. Hanya saja
rumah baru itu berada diantara pemondokan atau tempat tinggal para gadis
pekerja seksual. Di tempat tinggal baru itu, Winarti sangat mudah
bersosialisasi dengan warga sekitar. Untuk menyambung hidup di tempat tinggal
barunya, Winarti mengubah membatik yang dulu hanya kebiasaannya kini dia ubah
menjadi penghasilannya untuk bertahan hidup. Batik hasil karya Winarti selalu
mendapat pesanan sehingga dia tidak lagi bingung menggantungkan hidup setelah
ditinggal suaminya.
(28)
Kalau
nanti Ibu membatik lagi, hasilnya jangan diberikan orang lain ya Bu. Aku nanti
yang menjualkan. (IS/92)
(29)
Ibu
Sinder masih tetap mengandalkan kehidupan pada pembatikannya yang tidak kurang
pemesan. (IS/102)
Selain
dengan membatik untuk bertahan hidup, Winarti juga menjadi seorang pedagang dan
juga berjualan jamu. Winarti mulai membuat jamu ketika ada seorang induk semang
para wanita pekerja seks komersial bertamu kerumahnya untuk meminta maaf karena
dia sering marah-marah, pusing sampai kehilangan keseimbangan jika sedang
memarahi para wanita yang berada dirumahnya tanpa terkontrol. Ibu Sinder tahu
kalau sebenarnya Ibu tersebut mengidap penyakit darah tinggi. Ibu Sinder
langsung membuatkan jamu dan setelah itu Ibu tersebut bisa sembuh. Kesembuhan
Ibu tersebut menarik perhatian warga sehingga banyak warga yang kurang enak
badan meminta Ibu Sinder untuk membuatkan jamu. Dari membuat jamu ini Ibu
Sinder bisa mendapatkan penghasilan tambahan untuk bertahan hidup selain dia
masih terus membatik.
(30)
Baik,
kalau begitu besok kemari lagi ya Dik. Jamunya akan kusiapkan. (IS/101)
Pada
awalnya Ibu Sinder hanya membuatkan jamu kepada yang memesan tanpa dipungut
biaya sepeserpun. Dia cukup senang karena bisa membantu orang disekitarnya.
Hanya saja semakin lama semakin banyak yang memesan jamu, sehingga dia terpaksa
harus meminta biaya sekadar untuk pembelian bahan bakunya.
3.3
Masa Kemerdekaan
Indonesia
Waktu
terus berputar, tanpa terasa Indonesia sudah merdeka dan membuat segalanya
berubah. Termasuk kehidupan Ibu Sinder yang
juga ikut berubah menjadi lebih baik. Ketika masa penjajahan Jepang Ibu
Sinder bertahan hidup salah satunya dengan membatik, kini pada saat Indonesia
sudah merdeka Ibu Sinder masih saja tetap membatik. Bahkan Ibu Sinder
mengajarkan membatik kepada para orang-orang disekelilingnya termasuk para
wanita pekerja seks komersial.
(31)
Apa
kami boleh belajar membatik Bu? Siapa tahu, kalau kami dilarang melacurkan diri
oleh Ngarsa Dalem lalu bagaimana? Kami harus punya kepandaian lain. Kata Tinah.
(IS/116)
Disamping tetap membatik, Ibu Sinder
kini mempunyai sebuah usaha baru yang sedang ramai diperbincangkan banyak
orang.
(32) Tidak hanya
hidangan masakannya saja yang menjadi buah bibir, tetapi si pemilik warung pun
mengundang perhatian orang. (IS/5)
Ibu
Sinder sekarang membuka sebuah warung yang sangat terkenal. Warung tersebut bernama
warung Climen yang mempunyai arti warung sederhana. Disamping karena masakannya
yang enak, warung tersebut juga ramai karena pemiliknya banyak diperbincangkan.
Ibu Sinder membiarkan orang-orang berbicara apa saja karena itu ternyata bisa
membuat warungnya semakin ramai. Setelah membuka war Ibu Sinder kini mendapat
nama panggilan baru yaitu Ibu Climen
4.
Ibu
Sinder: Perempuan Tiga Zaman
4.1 Zaman Belanda
Belanda
datang ke Indonesia awalnya dengan niat dagang. Didorong keserakahan kegiatan
dagang itu kemudian disertai dengan jalan kekerasan untuk mengamankan
kelancaran dagang. Kepada mereka yang mengganggu kepentingan dagang
diperlakukan dengan kejam tetapi kepada mereka yang tidak mengganggu dan malah
membantu, diperlakukan dengan baik, diberi pendidikan dan diberi kebebasan
berpikir. Bangsa Belanda sebenarnya juga mengagumi Indonesia
(33)Kau Ivo, Indie
begitu indah ya. (IS/8)
(34)Indah,
indah lingkungan ini. Holland dan Insulinde, tambatan hatiku. (IS/64)
Kutipan
diatas menunjukkan bagaimana bangsa Belanda mengagumi keindahan bangsa
Indonesia yang diungkapkan oleh Hendrik Van Hoogendorp pemilik perkebunan yang
ada di Madugondo tempat Ibu Sinder tinggal. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa
Indonesia mempunyai daya tarik tersendiri khususnya bagi orang asing termasuk
Belanda. Hal tersebut berlaku sampai sekarang, terbukti banyak sekali wisatawan
asing yang mengagumi keindahan negara Indonesia.
Ibu Sinder menganggap tidak ada
permasalahan yang berarti ketika Belanda menjajah Indonesia. Terlepas dari
perempuan Indo-Belanda yang sering menghina dia, orang Belanda sebenarnya juga
baik termasuk Hendrik Van Hoogendorp yang menjadi pimpinan tempat dari suaminya
bekerja. Hendrik sangat menghormati budaya Jawa, termasuk kepada Winarti,
Hendrik juga menghormatinya. Banyak yang mempertanyakan kanapa Hendrik Van
Hoogendorp begitu menghormati Winarti.
(35)Ibu
Sinder hanya hanya seorang istri Sinder. Mengapa administrator itu begitu
menaruh hormat padanya? (IS/55)
Ibu Sinder juga menghormati orang-orang
Belanda seperti Hendrik Van Hoogendorp sekeluarga dan yang lainnya termasuk
para sinder keturunan Belanda. Ibu Sinder bahkan tidak marah ketika mengetahui
suaminya selingkuh dengan Fien Van Hoogendorp dan hanya menganggap itu sudah
menjadi kebiasaan seperti yang dilakukan oleh ayahnya dulu. Ibu Sinder
menganggap Fien sebenarnya perempuan yang baik terlepas dia selingkuh dengan
suaminya, Winarti tidak menganggap Fien sebagai musuh.
(36)Wanita
Indo ini bukan maruku, hakikatnya
sama dengan “simpanan-simpanan” Ayah dulu. (IS/57)
Secara keseluruhan Ibu Sinder perempuan
ningrat yang memegang erat budaya Jawa ini menerima segala perlakuan yang
dilakukan oleh Belanda terhadap Indonesia khususnya di Madugondo. Dia hanya
takut perselingkuhan suaminya suatu saat akan diketahui oleh Suhono anaknya yang
juga menjalin hubungan dengan Ivonne anak dari Fien dan Hendrik majikannya,
pada saat ini Winarti belum merestui hubungan Suhono dengan Ivonne hanya karena
perasaan takut melihat suaminya juga menjalin hubungan dengan ibunya Ivonne.
4.2
Zaman
Jepang
Jepang datang ke Indonesia dengan tujuan
mengamankan pemasukan bahan baku untuk kepentingan industri mereka. Jepang
memang datang untuk menjajah dan bercita-cita menyatukan seluruh Asia di bawah
kekuasaan Jelang. Banyak orang yang dianggap menentang penjajahan Jepang
diperlakukan dengan amat kejam, demikian juga banyak wanita dijadikan pemuas
nafsu tentara Jepang. Banyak pertanyaan dan keraguan yang timbul pada saat
Jepang menduduki Indonesia.
(37)Terus terang Bu,
mula-mula dalam hati kusambut hangat kedatangan Nippon di bumi kita ini, tetapi
lambat laun aku sangsi. Benarkah Nippon akan memerdekakan kita? (IS/76)
Pasukan
Jepang melakukan hukuman tidak pandang dia melakukan kesalahan atau tidak. Jika
ada yang terlihat kurang baik di hadapan mereka, maka pukulan maupun tendangan
sudah menjadi santapan wajib bagi warga Madugondo termasuk para sinder yang
dahulu ketika masa Belanda terpandang, kini mereka tidak ada artinya. Keluarga
Hendrik Van Hoogendorp beserta orang-orang Belanda-Indo di angkut dengan truk
dan dibawah ke suatu tempat. Hal tersebut juga terjadi kepada sinder-sinder dan
juga kepada Suhono. Suhono akhirnya terpisah dengan Ivonne. Madugondo
benar-benar sudah diambil alih oleh tentara Jepang, banyak pribumi termasuk
Suprapto yang tidak suka dengan tindak kekerasan yang dilakukan Dai Nippon. Tentara
Jepang membuat Ibu Sinder tidak begitu nyaman, bahkan terkesan tidak suka. Pada
masa penjajahan Belanda Ibu Sinder masih rela ketika melihat suaminya maupun
pembesar lain di Madugondo mempunyai simpanan wanita, dia ihlas. Tetapi pada
saat masa penjajahan Jepang dia tidak suka melihat tentara Jepang yang suka
bermain wanita dan mempunyai simpanan.
(38)Pegawai-pegawai
Belanda Indo ada yang terpaksa menyerahkan anak gadisnya kepada penguasa
Jepang. (IS/76)
(39)Seperti
Nippon-Nippon lainnya yang memegang kekuasaan, Kongga juga memelihara beberapa
wanita gula-gula, di antaranya seorang wanita gadis Indo. (IS/77)
Setelah Ibu Sinder pindah ke Jogja dia malah
dekat, hidup bersama dengan para wanita pekerja seks komersial disana. Dia
menganggap itu sebagai hal yang wajar saja dan menganggap para wanita tersebut
sebagai anaknya. Disamping melakukan rutinitas sehari-hari, dia keyakin bahwa
Suhono masih hidup dan akan segera kembali menemuinya. Suatu hari Herman datang
membawa kabar kalau dia bertemu dengan Ivonne di kamp interniran Bangkong, hal
yang ditanyakan Ivonne adalah kabar dari Suhono dan Winarti. Winarti yang dulu
takut melihat kedekatan Suhono dengan Ivonne kini merestui jika mereka menjalin
cinta, apalagi mereka sudah sama-sama dewasa.
(40)Ivo,
kau masih ingat ibumu. Ya Tuhan, lindungilah anakku yang satu itu. (IS/107)
(41)Anakku
Ngger, Ivo, begitu dalam cintamu
kepada Suhono. Aku tidak mengira. Semoga tuhan melindungimu Ivo, gumam Ibu
Sinder. (IS/118)
Secara
keseluruhan Ibu Sinder tidak suka dengan kedatangan Jepang yang menjajah
Indonesia. Jepang banyak membuat hidup Ibu Sinder berantakan. Terlepas dari
suaminya yang meninggal karena tersambar petir, Jepang juga telah memisahkan
dia dari Suhono anak kesayangannya karena Suhono diculik oleh tentara Jepang.
Keyakinan Ibu Sinder adalah anaknya Suhono masih hidup dan akan segera
menemuinya ketika Indonesia sudah merdeka. Pada saat masa penjajahan Belanda,
Ibu Sinder tidak merestui hubungan anaknya dengan Ivonne. Kini Ibu Sinder
sangat merestui hubungan Suhono dan Ivonne serta mendoakan yang terbaik untuk
mereka berdua.
4.3
Zaman Kemerdekaan
Kedatangan Jepang di Indonesia hanya
seumur jagung jika dibandingkan dengan Belanda. Setelah sekian lama akhirnya
Indonesia berhasil meraih kemerdekaan. Seperti ramalan Joyoboyo yang sering
dibicarakan Ibu Sinder bersama Suprapto dulu. Semua orang pada saat itu pasti
merasa senang mendengar Indonesia merdeka termasuk Ibu Sinder. Ibu Sinder kini
semakin giat belajar dan mengajari para wanita untuk membatik, menjual jamu dan
sebagainya sehingga nantinya mereka bisa mendapat pekerjaan. Semua itu berjalan
dengan baik karena diantara mereka ada yang meninggalkan pekerjaannya sebagai
pekerjaa seks komersial dan bekerja pada bidang lain.
(42)Ada yang menjadi
penjual jamu keliling, penjual nasi pecel, menjadi pekerja batik, bahkan ada
yang mampu membuka warung kecil-kecilan. (IS/125)
Ibu Sinder semakin
berbahagia saat Suhono anaknya akhirnya kembali dan menemui dia di kediamannya.
Tidak lama kemudian Ibu Sinder harus merelakan dan merestui Suhono yang
akhirnya pada masa kemerdekaan ini menikah dengan Ivonne anak dari majikannya
saat masih di Madugondo. Suhono dan Ivonne kemudian tinggal di negara Belanda,
Herman keponakannya melanjutkan sekolah di luar negeri, sedangkan Ibu Sinder
kini membuka sebuah warung makanan lokasinya tidak jauh dari Pesanggrahan
Ambarukmo yang diberi nama Warung Climen atau warung sederhana.
SIMPULAN
Apa yang dipaparkan diatas menggambarkan
bagaimana sosok Ibu Sinder seorang perempuan yang berasal dari keluarga ningrat
yang mempertahankan budaya Jawa di tengah zaman kolonial yang melanda Indonesia.
Bentuk-bentuk pemertahanan budaya Jawa oleh Ibu Sinder yaitu dengan membatik,
bercerita tentang pewayangan, dan berbahasa Jawa. Ibu Sinder selalu membatik
pada saat ketiga zaman tersebut untuk melestarikan budaya yang sudah turun
temurun dari nenek moyang khususnya di Jawa. Dia selalu menghubungkan berbagai
kejadian yang terjadi dengan cerita pewayangan sebagai bentuk mempertahankan
budaya tersebut. Ibu Sinder tidak malu untuk selalu menggunakan bahasa Jawa
dalam berkomunikasi meskipun dia sebenarnya bisa belajar bahasa Belanda seperti
yang dilakukan oleh Winarsih adiknya.
Ibu Sinder bertahan hidup pada tiga masa
tersebut dengan cara mengembangkan keterampilan yang diajarkan oleh keluarga
keraton pada saat dia masih kecil. Pada masa penjajahan Belanda, Ibu Sinder
hanya menjadi seorang istri atau ibu rumah tangga yang baik. Dia hanya menunggu
nafkah dari suaminya yang bekerja sebagai seorang sinder atau pengawas
perkebunan. Pada masa penjajahan Jepang, winarti mengubah membatik yang dulu
hanya sebagai kebiasaan kini dia ubah menjadi penghasilan dengan cara
menjualnya. Selain menjual batik, Ibu Sinder menjadi seorang pedagang dan juga
berjualan jamu. Strategi bertahan hidup Ibu Sinder pada masa kemerdekaan
Indonesia selain tetap mengembangkan usaha membatik dan berjualan jamu. Ibu
Sinder kini juga membuka sebuah warung yang diberi nama warung Climen.
Ibu Sinder tidak begitu mempersoalkan
Belanda saat menjajah Indonesia. Dia menganggap kebanyakan orang-orang Belanda
cukup baik. Berbeda pada saat Jepang menjajah Indonesia, Jepang membuat
kehidupan Winarti berantakan. Terlepas dari suaminya yang meninggal. Jepang
telah memisahkan Winarti dengan sanak saudaranya, termasuk dengan anaknya
sendiri. Pada saat Indonesia merdeka Ibu Sinder juga turut bersuka cita,
apalagi dia bisa kembali bertemu dengan anaknya. Ibu Sinder juga bisa membantu
para pekerja seks komersial lepas dari pekerjaannya dengan mengajari mereka
berbagai keterampilan. Novel ini cukup menarik karena terdapat tiga masa, yaitu
masa penjajahan Belanda, masa penjajahan Jepang sampai masa kemerdekaan
Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Amiruddin, Mariana. 2006. Jurnal Perempuan:
Feminisme: Ilmu Pengetahuan Merindukan Kebenaran. Jakarta. Yayasan Jurnal
Perempuan.
Ariffin, Muhammad. 2007. Gerakan Feminisme, Persamaan Gender dan
Pemahaman Agama. Online, diakses
pada 20 Juni 2014.
Arivia, Gadis. 2006. Letak Poskolonial dan Feminisme. Online, diakses pada 17 Mei 2014.
Damono, Sapardi Djoko. D. 1984. Sosiologi Sastra; Sebuah Pengantar.
Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Eko.
D. 2012. Pengertian Feminisme dan
Macam-Macam Jenis Feminisme. Online,
diakses pada 12 Mei 2014.
Kelana, Pandir. 1983. Ibu Sinder. Jakarta: Sinar Harapan.
Loomba, Ania. 2003. Kolonialisme/Pascakolonialisme. Yogyakarta: Bentang Budaya.
Puspitawati, H. 2012.
Jurnal: Gender dan Keluarga: Konsep dan
Realita di Indonesia. Bogor. PT IPB Press.
Ray, Sangeeta. 2014. Gayatri Chakravotry Spivak: Sang Liyan. Denpasar:
CV. Bali Media Adhikarsa.
0 komentar:
Posting Komentar