MEMBANGUN PEMAHAMAN PEMEROLEHAN BAHASA
(Tinjauan
Psikolinguistik)
Moh. Fajri
Mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Brawijaya Malang
Jl. Veteran
Malang, email: fajrikikuk@gmail.com, HP: 08563338208.
Abstrak: pemerolehan
bahasa merupakan satu fenomena atau masalah yang cukup menarik perhatian
khususnya bagi para peneliti dalam bidang psikoliguistik. Bagaimana manusia
memperoleh bahasa merupakan satu fenomena yang mengagumkan meskipun sulit untuk
dibuktikan bagaimana proses sebenarnya.
Pemerolehan bahasa dan pembelajaran bahasa itu berbeda. Pemerolehan bahasa adalah proses yang berlangsung terhadap anak-anak yang belajar menguasai bahasa pertama atau bahasa ibu. Sedangkan pembelajaran bahasa adalah berkaitan dengan pemerolehan bahasa kedua. Ada dua proses yang terjadi ketika seseorang kanak-kanak sedang memperoleh bahasa pertamanya, yaitu proses kompetensi dan proses performansi. Kompetensi adalah proses penguasaan tata bahasa yang berlangsung secara tidak disadari. Proses ini menjadi syarat untuk terjadinya proses performansi yang terdiri dari dua buah proses, yakni proses pemahaman dan proses penerbitan atau proses menghasilkan kalimat-kalimat. Terdapat tiga teori atau hipotesis, yaitu hipotesis nurani, hipotesis tabularasa, hiotesis kesemestaan kognitif. Terdapat juga berbagai jenis-jenis dalam pemerolehan bahasa yakni fonologi, sintaksis, dan semantik. Di samping itu, ada bahasan pula mengenai pemerolehan pragmatik.
Pemerolehan bahasa dan pembelajaran bahasa itu berbeda. Pemerolehan bahasa adalah proses yang berlangsung terhadap anak-anak yang belajar menguasai bahasa pertama atau bahasa ibu. Sedangkan pembelajaran bahasa adalah berkaitan dengan pemerolehan bahasa kedua. Ada dua proses yang terjadi ketika seseorang kanak-kanak sedang memperoleh bahasa pertamanya, yaitu proses kompetensi dan proses performansi. Kompetensi adalah proses penguasaan tata bahasa yang berlangsung secara tidak disadari. Proses ini menjadi syarat untuk terjadinya proses performansi yang terdiri dari dua buah proses, yakni proses pemahaman dan proses penerbitan atau proses menghasilkan kalimat-kalimat. Terdapat tiga teori atau hipotesis, yaitu hipotesis nurani, hipotesis tabularasa, hiotesis kesemestaan kognitif. Terdapat juga berbagai jenis-jenis dalam pemerolehan bahasa yakni fonologi, sintaksis, dan semantik. Di samping itu, ada bahasan pula mengenai pemerolehan pragmatik.
Kata kunci: Pemerolehan bahasa, Hipotesis,
Jenis pemerolehan bahasa
A.
PENDAHULUAN
Proses pemerolehan bahasa merupakan satu fenomena atau
masalah yang cukup menarik perhatian khususnya bagi para peneliti dalam bidang psikoliguistik.
Bagaimana manusia memperoleh bahasa merupakan satu fenomena yang mengagumkan
meskipun sulit untuk dibuktikan.
Kemerdekaan pemerolehan bahasa diperkirakan baru mulai
sekitar usia satu tahun di saat anak-anak mulai menggunakan kata-kata lepas
atau kata-kata terpisah dari sandi linguistik untuk mencapai tujuan sosial
mereka. Pemerolehan bahasa dapat mendasari kemampuan mengajarkan bahasa kepada
siswa di sekolah terutama siswa yang masih kanak-kanak. Ada dua proses yang
terjadi ketika seseorang kanak-kanak sedang memperoleh bahasa pertamanya, yaitu
proses kompetensi dan proses performansi. Kedua proses ini
merupakan proses yang berlainan. Kompetensi adalah proses penguasaan tata
bahasa yang berlangsung secara tidak disadari. Proses ini menjadi syarat untuk
terjadinya proses performansi yang terdiri dari dua buah proses, yakni proses pemahaman dan proses penerbitan atau proses menghasilkan
kalimat-kalimat. Proses pemahaman melibatkan kemampuan atau kepandaian
mengamati atau kemampuan mempersepsi kalimat-kalimat yang didengar. Sedangkan
penerbitan melibatkan kemampuan mengeluarkan atau menerbitkan kalimat-kalimat
sendiri.
Karakteristik
setiap anak hampir tidak sama sehingga dengan mempelajari pemerolehan bahasa,
guru dapat mengatasi perbedaan perkembangan bahasa pada siswanya. Siswa sekolah
dasar pada umumnya berlatar belakang dwibahasa bahkan multi bahasa, sehingga
dengan mempelajari materi pemerolehan dan perkembangan bahasa, guru dapat
benar-benar memahami konteks sosial budaya lingkungan anak didiknya dan
menghargai keragaman budaya tersebut.
B.
PEMBAHASAN
Menurut Dardjowidjojo (2012: 225), istilah
pemerolehan dipakai untuk padanan istilah Inggris acquisition, yang merupakan suatu proses penguasaan bahasa yang
dilakukan oleh anak secara natural pada waktu dia belajar bahasa ibunya.
Istilah ini dibedakan dari pembelajaran yang merupakan padanan dari istilah
Inggris learning. Dengan demikian,
proses dari anak yang belajar menguasai bahasa ibunya adalah pemerolehan,
sedangkan proses dari orang yang belajar di kelas adalah pembelajaran. Menurut
Nurhadi dan Roekhan, 1990 (dalam Chaer,2002:167), memberikan pengertian bahwa
pemerolehan bahasa atau akuisisi bahasa adalah suatu proses yang berlangsung di
dalam otak seseorang ketika dia memeroleh bahasa pertamanya atau bahasa ibunya.
Pemerolehan bahasa berbeda dengan pembelajaran bahasa. Pemerolehan bahasa
berkaitan dengan proses-proses yang terjadi pada waktu seseorang mempelajari
bahasa pertama, sedangkan pembelajaran
bahasa berkaitan dengan proses-proses yang terjadi pada waktu seseorang
mempelajari bahasa kedua. Namun banyak juga yang menggunakan istilah
pemerolehan bahasa untuk bahasa kedua.
Dari kedua pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa
pemerolehan bahasa dan pembelajaran bahasa itu berbeda. Pemerolehan bahasa
adalah proses yang berlangsung terhadap anak-anak yang belajar menguasai bahasa
pertama atau bahasa ibu. Sedangkan pembelajaran bahasa adalah berkaitan dengan
pemerolehan bahasa kedua, seperti ketika seseorang sedang proses belajar
didalam kelas.
Ada dua proses yang terjadi ketika seseorang kanak-kanak
sedang memperoleh bahasa pertamanya, yaitu proses kompetensi dan proses
performansi. Kedua proses ini merupakan proses yang berlainan.
Kompetensi adalah proses penguasaan tata bahasa yang berlangsung secara tidak
disadari. Proses ini menjadi syarat untuk terjadinya proses performansi yang
terdiri dari dua buah proses, yakni proses
pemahaman dan proses penerbitan
atau proses menghasilkan kalimat-kalimat. Proses pemahaman melibatkan
kemampuan atau kepandaian mengamati atau kemampuan mempersepsi kalimat-kalimat
yang didengar. Sedangkan penerbitan melibatkan kemampuan mengeluarkan atau
menerbitkan kalimat-kalimat sendiri. Kedua jenis proses kompetensi ini apabila
telah dikuasai kanak-kanak akan menjadi kemampuan linguistik kanak-kanak itu.
Jadi, kemampuan linguistik terdiri dari kemampuan memahami dan kemampuan
melahirkan atau menerbitkan kalimat-kalimat baru yang dalam linguistic
transformative generative disebut perlakuan,
atau pelaksanaan bahasa, atau performansi.
Terdapat
beberapa hipotesis atau teori yang berkaitan dengan pemerolehan bahasa. Salah
satunya menurut Chaer (2009:168-180) yang mengatakan terdapat tiga teori atau
hipotesis, yaitu:
a.
Hipotesis
Nurani
Hipotesis nurani bahasa merupakan satu asumsi yang
menyatakan bahwa sebagian atau semua dari bahasa tidaklah dipelajari atau
diperoleh tetapi ditentukan oleh fitur-fitur nurani yang khusus dari organisme
manusia. Chaer (2009:
169).
Hipotesis nurani lahir dari beberapa pengamatan yang
dilakukan para pakar terhadap pemerolehan bahasa kanak-kanak (Lenneberg, 1967,
Chomsky, 1970). Hasil pengamatan itu antara lain. Semua kanak-kanak akan
memperoleh bahasa ibunya, asal tidak diasingkan dari kehidupan ibunya
(keluarganya). Pemerolehan bahasa tidak ada hubungannya dengan kecerdasan
kanak-kanak. Mereka akan tetap memperolah bahasa itu baik yang cerdas maupun
yang tidak cerdas. Kalimat-kalimat yang didengar kanak-kanak seringkali tidak
gramatikal, tidak lengkap, dan jumlahnya sedikit. Bahasa tidak dapat diajarkan
kepada makhluk lain karena hanya manusi yang dapat berbahasa. Proses
pemerolehan bahasa oleh kanak-kanak dimana pun sesuai dengan jadwal yang erat
kaitannya dengan proses pematangan jiwa kanak-kanak. Struktur bahasa sangan
rumit, kompleks, dan bersifat universal. Namum, dapat dikuasai kanak-kanak
dalam waktu yang relative singkat, yaitu dalam waktu antara tiga sampai empat
tahun saja.
Berdasarkan pengamatan di atas dapat disimpulkan bahwa
manusia lahir dengan dilengkapi oleh suatu alat yang memungkinkan dapat
berbahasa dengan mudah dan cepat. Alat itu sering disebut dengan Language
Acquisition Device (LAD), yang berfungsi untuk memungkinkan seorang
kanak-kanak memperoleh bahasa ibunya. Akan tetapi, karena sukar dibuktikan
secara empiris, maka pendangan ini mengajukan satu hipotesis yang disebut hipotesis nurani.
b.
Hipotesis
Tabularasa
Secara harfiah tabularasa berarti ‘kertas kosong’, dalam arti
belum ditulisi apa-apa. Hipotesis ini menyatakan bahwa otak bayi pada waktu
dilahirkan sama seperti kertas kosong, yang nanti akan ditulisi dengan
pengalaman-pengalaman. Chaer (2009:
172-173). Pada awalnya hipotesis ini dikemukakan oleh John Locke seorang
empirisme yang sangat terkenal yang kemudian dianut dan disebarluaskan oleh
John Watson, seorang tokoh terkemuka aliran behaviorisme dalam psikologi.
Menurut hipotesis tabularasa, semua pengetahuan dalam bahasa
manusia yang tampak saat perilaku berbahasa merupakan hasil dari integritas
peristiwa-peristiwa linguistik yang dialami dan diamati oleh manusia itu. Sejalan
dengan hipotesis ini, behaviorisme menganggap bahwa pengetahuan linguistik
hanya terdiri dari rangkaian hubungan-hubungan yang dibentuk dengan cara
pembelajaran S – R (Stimulus – Respons). Cara pembelajaran S – R yang terkemuka
adalah pelaziman klasik, pelaziman operan, dan mediasi atau penengah yang telah
dimodifikasi menjadi teori-teori pembelajaran bahasa.
c.
Hipotesis
Kesemestaan Kognitif
Hipotesis kesemestaan kognitif diperoleh berdasarkan
struktur-struktur kognitif deriamotor. Struktur-struktur ini diperoleh
kanak-kanak melalui interaksi dengan benda-benda atau orang-orang sekitarnya. Chaer (2009: 178).
Urutan pemerolehan ini secara garis besar adalah sebagai berikut:
1. Antara usia 0 sampai 1,5 tahun. Kanak-kanak mengembangkan pola-pola
aksi dengan cara bereaksi terhadap alam sekitarnya. Pola-pola inilah yang
kemudian diatur menjadi struktur-struktur
akal (mental).Berdasarkan struktur-struktur akal ini kanak-kanak mulai
membangun satu dunia benda-benda yang kekal yang lazim disebut kekekalan benda.Maksudnya,
kanak-kanak telah mulai sadar bahwa meskipun benda-benda yang pernah diamatinya
atau disentuhnya hilang dari pandangannya, namun tidak berarti benda-benda itu
tidak ada lagi di dunia ini. Dia sekarang tahu bahwa benda-benda itu dapat
dicari dengan struktur aksi tertentu. Misalnya, melihatnya di tempat lain.
2. Tahap representasi kecerdasan
(2 sampai 7 tahun). Pada tahap ini kanak-kanak telah mampu membentuk
representasi simbolik benda-benda seperti permainan simbolik, peniruan,
bayangan mental, gambar-gambar, dan lain-lain.
3. Setelah tahap representasi
kecerdasan dan representasi simboliknya berakhir, maka bahasa kanak-kanak
semakin berkembang dengan mendapat nilai-nilai sosialnya. Struktur-struktur
linguistik mulai dibentuk berdasarkan bentuk-bentuk kognitif umum yang telah
dibentuk ketika berusia kurang lebih dua tahun.
Terdapat berbagai jenis-jenis dalam pemerolehan bahasa,
menurut Darjowidjojo (2003: 244), ada tiga komponen, yakni fonologi, sintaksis,
dan semantik. Di samping itu, ada bahasan pula mengenai pemerolehan pragmatik,
yakni bagaimana anak memperoleh kelayakan dalam berujar. Berikut ini penjelasan
dari berbagai macam pemerolehan bahasa diatas.
a.
Pemerolehan
Bahasa dalam Bidang Fonologi
Pada waktu dilahirkan, anak hanya memiliki sekitar 20% dari
otak dewasanya. Ini berbeda dengan binatang yang sudah memiliki sekitar 70%.
Karena perbedaan inilah maka binatang sudah dapat melakukan banyak hal segera
setelah lahir, sedangkan manusia hanya bisa menangis dan menggerak-gerakkan
badanya. Pada umur sekitar 6 minggu, anak mulai mengeluarkan bunyi-bunyi yang
mirip dengan bunyi konsonan atau vocal. Bunyi-bunyi ini belum dapat dipastikan
bentuknya karena memang belum terdengar dengan jelas. Proses mengeluarkan
bunyi-bunyi seperti ini dinamakan cooing,
yang telah diterjemahkan menjadi dekutan (Dardjowidjojo 2012:244). Anak
mendekutkan bermacam-macam bunyi yang belum jelas identitasnya.
Pada sekitar umur 6 bulan, anak mulai mencampur konsonan
dengan vocal sehingga membentuk apa yang dalam bahasa Inggris dinamakan babbling, yang telah diterjemahkan
menjadi celotehan. Celotehan dimulai dengan konsonan yang keluar pertama adalah
konsonan bilabial hambat dan bilabial nasal. Vokalnya adalah /a/, dengan
demikian strukturnya adalah CV. Ciri lain dari
ini celotehan adalah CV ini kemudian diulang sehingga muncullah struktur
seperti berikut:
(1) V1
C1 C1 V1 C1 V1….papapa
mamama bababa….
Echa (dalam Dardjowidjojo, 2012:245), mungkin sekali anak
Indonesia yang lain, munculnya kata pertama agak “terlambat”, yakni mendekati
umur 1;6. Argumentasi untuk menjelaskan keterlambatan ini adalah anak Indonesia memerlukan waktu yang lebih
lama untuk menentukan suku mana yang akan diambil sebagai wakil dari kata itu.
Dari perkembangan Echa dan tidak mustahil juga anak Indonesia lain, yang
diambil adalah suku terakhir. Pemilihan suku terakhir ini mempunyai latar
belakang yang universal, yakni bahwa anak di mana pun cenderung untuk
memperhatikan akhir dari suatu bentuk. Slobin (dalam Dardjowidjojo, 2012:245).
Bunyi konsonan pada akhir kata sampai dengan umur sekitar 2;0
banyak tidak diucapkan sehingga mobil akan diujarkan sebagai /bI/.
Sampai sekitar umur 3;0 anak belum dapat mengucapkan gugus konsonan sehingga Eyang Putri akan disapanya dengan Eyang /ti/.
b.
Pemerolehan Bahasa dalam
Bidang Semantik
Menurut beberapa
ahli psikolingguistik perkembangan kanak-kanak memperoleh makna suatu kata
dengan cara menguasai fitur-fitur semantik kata itu satu demi satu sampai semua
fitur semantik dikuasai, seperti yang dikuasai oleh orang dewasa (Mc.Neil,
1970, Clark, 1997). Akhirnya Clark secara umum menyimpulkan perkembangan
pemerolehan semantik ini ke dalam empat tahap yaitu sebagai berikut:
·
Tahap
penyempitan makna kata
Tahap ini
berlangsung antara umur satu sampai satu setengah tahun (1;0–1;6). Pada tahap
ini kanak-kanak menganggap satu benda tertentu yang disebut gukguk hanyalah
anjing yang dipelihara di rumah saja tidak termasuk yang berada di luar rumah.
·
Tahap
generalisasi berlebihan
Tahap ini
berlangsung antara usia satu setengah tahun hingga dua tahun setengah (1;6–2;6). Pada tahap ini
anak-anak mulai menggeneralisasikan makna suatu kata secara berlebihan. Jadi
yang dimaksud dengan anjing atau gukguk adalah semua binatang berkaki empat.
·
Tahap
medan semantik
Tahap ini
berlangsung antara usia dua tahun setengah sampai usia lima tahun (2;6 – 5;0).
Pada tahap ini kanak-kanak mulai mengelompokkan kata-kata yang berkaitan ke
dalam satu medan semantik. Pada mulanya proses ini berlangsung jika makna
kata-kata yang digeneralisasi secara berlebihan semakin sedikit setelah
kata-kata baru untuk benda-benda yang termasuk dalam generalisasi ini dikuasai
oleh kanak-kanak. Umpamanya kalau pada utamanya kata anjing berlaku untuk semua
binatang berkaki empat, namun setelah mereka mengenal kata kuda, kambing,
harimau maka kata anjing berlaku untuk anjing saja.
·
Tahap
generalisasi
Tahap ini
berlangsung setelah kanak-kanak berusia lima tahun. Pada tahap ini kanak-kanak
telah mulai mampu mengenal benda-benda yang sama dari sudut persepsi, bahwa benda-benda itu mempunyai
fitur-fitur semantik yang sama. Pengenalan seperti ini semakin sempurna jika
kanak-kanak itu semakin bertambah usia. Jadi, ketika berusia antara lima tahun
sampai tujuh tahun misalnya, mereka telah mampu mengenal yang dimaksud dengan
hewan.
c.
Pemerolehan
Bahasa dalam Bidang Sintaksis
Dalam bidang sintaksis, anak memulai berbahasa dengan
mengucapkan satu kata (atau bagian kata). Kata ini, bagi anak, sebenarnya
adalah kalimat penuh, tetapi karena dia belum dapat mengatakan lebih dari satu kata dari seluruh
kalimat itu. Yang menjadi pertanyaan adalah kata mana yang dipilih? Seandainya
anak itu bernama Fajri dan yang ingin dia sampaikan adalah Fajri mau makan, dia akan memilih jri (untuk Fajri), mau
(untuk mau), ataukah kan (untuk makan)?Dari
tiga kata pada kalimat Fajri mau makan,
yang baru adalah kan.Karena itulah
anak memilih kan, dan bukan jri, atau mau. Dengan singkat dapat dikatakan bahwa dalam ujaran yang
dinamakan Ujaran Satu Kata, USK, (one
word utterance) anak tidak sembarangan saja memilih kata itu; dia akan
memilih kata yang memberikan informasi baru.
Dari segi sintaktiknya, USK sangatlah sederhana karena
memang hanya terdiri dari
satu kata saja, bahkan untuk bahasa seperti bahasa Indonesia hanya sebagian
saja dari kata itu. Di samping ciri ini, USK juga mempunyai ciri-ciri yang
lain. Pada awalnya USK hanya terdiri dari CV saja. Bila kata itu CVC maka C
yang kedua dilesapkan. Kata mobil akan disingkat menjadi /bi/. Pada
perkembangannya kemudian, konsonan akhir ini mulai muncul. Pada umur 2;0
misalnya, Echa menamakan ikan sebagai /tan/, persis sama dengan kata bukan. Pada awal USK juga tidak ada
gugus konsonan. Semua gugus yang ada di awal atau akhir kalimat disederhanakan
menjadi satu konsonan saja. Kata Indonesia putri
(untuk Eyang putri) diucapkan oleh Echa mula-mula sebagai Eyang /ti/. Ciri lain
dari USK dalah bahwa kata-kata dari kategori sintaktik utama (content words), yakni, nomina, verba,
adjektiva, dan mungkin juga adverb. Tidak ada kata fungsi seperti form, to, dari, atau ke. Di samping itu, kata-katanya selalu
dari kategori sini dan kini. Tidak ada yang merujuk kepada yang
tidak ada di sekitar atau pun ke masa lalu dan masa depan. Anak pun juga dapat
menyatakan negasi no atau nggak, pengulangan more atau lagi, dan habisnya
sesuatu gone atau abis. Lampu yang mati juga sering
dikatakan gone!
Sekitar umur 2;0 anak mulai mengeluarkan Ujaran Dua
Kata, UDK (Two Word Utterance). Anak
mulai dengan dua kata yang diselingi jeda sehingga seolah-olah dua kata itu
terpisah. Untuk menyatakan bahwa lampunya telah menyala. Echa misalnya, bukan
mengatakan /lampunala/ “lampu nyala” tapi /lampu // nala/. Jadi, berbeda dengan
USK, UDK sintaksisnya lebih kompleks (karena adanya dua kata) tetapi
semantiknya makin lebih jelas.
Ciri lain dari UDK adalah kedua kata ini merupakan
kata-kata dari kategori utama, verba, adjektiva, atau bahkan adverbial. Belum
ada kata fungsi seperti di, yang, dan,
dsb. Karena wujud ujaran yang seperti
bahasa tilgram ini maka UDK sering juga disebut sebagai ujaran telegrafik (telegraphic speech). Pada UDK juga belum
ditemukan afiks macam apa pun. Untuk bahasa Indonesia, anak juga belum memakai
prefiks meN- atau sufiks –kan, -i, atau –an.
Berikut adalah beberapa contoh ujaran dua kata yang
dikeluarkan Echa pada waktu dia berumur 1;8 (dalam Dardjowidjojo, 2012:249).
(2) a.
/liat tuputupu/ “Ayo lihat
kupu-kupu”.
b. /etsa mimik/ “Echa minta mimik”.
Kalau
kita amati contoh-contoh di atas dengan teliti dengan teliti maka akan tampak
bahwa UDK anak ternyata sudah menguasai hubungan kasus (case relation). Pada contoh (a), misalnya, kita dapati bahwa anak
telah menguasai hubungan kasus antara perbuatan dengan objek (action-object relation). Pada (b) kita
temukan hubungan kasus pelaku-objek.
Hal seperti ini merupakan gejala yang universal. Pada sekitar umur 2;0 anak
telah menguasai hubungan kasus-kasus dan operasi-operasi berikut Brown (dalam
Dardjowidjojo, 2012:249).
Pelaku-perbuatan : Daddy eat, Echa nyanyi.
Pelaku-objek : Teddy milk; Echa roti.
Perbuatan-objek : Eat lunch; Maem krupuk.
Perbuatan-lokasi : Go store; Pergi kamar.
Pemilik-dimiliki : Mommy sock; Sarung Eyang.
Objek-lokasi : Kitty bed; Mama kursi.
Atribut-entitas : Big doggie; Ular gede.
Nominasi : This (ia a) truck; Ini
ikan.
Minta
ulang : More milk; Mimik
lagi.
Tak-ada lagi :
Allgone egg; Lampu habis.
Meskipun pada UDK semantiknya memang makin jelas, makna yang
dimaksud anak masih tetap harus diterka sesuai dengan konteksnya. Kalimat Teddy milk atau Echa roti di atas belum tentu berarti Teddy minta susu atau Echa
minta roti. Bisa juga yang dimaksud anak adalah lain, misalnya, Teddy melihat
susu dan Echa mau ambil roti, dsb.
Pada tahap ini anak juga sudah dapat menyatakan bentuk
negative. Pada anak Indonesia, proses mentalnya mungkin agak lebih rumit karena
dalam bahasa kita terdapat beberapa macam bentuk negatif: bukan, belum, dan tidak.
Seperti dijelaskan Dardjowidjojo (dalam Dardjowidjojo, 2012:250) bentuk negatif
yang muncul pertama pada Echa adalah bukan
yang dia ucapkan sebagai /tan/, /utan/, /butan/, dan kemudian /bukan/. Pemerolehan
bentuk negatif bukan secara dini mungkin dipengaruhi oleh konsep
sini dan kini yang membuat nomina lebih dominan daripada kategori yang lain
sehingga kata bukan merupakan negasi
antara dua nomina. Munculnya bentuk negasi ini mula-mula sebagai respon
terhadap pertanyaan. Perhatikan percakapan antara Echa dan Eyang Kakungnya:
(3) EK:
Ini ikan, ya, Cha?
EC: Utan.
Kemudian
muncul negasi belum yang tampaknya
juga berkaitan dengan konsep sini dan kini karena verba adalah kategori kedua
setelah nomina. Kata negative ndak
atau nggak juga muncul hamper
bersamaan dengan belum karena alasan
yang sama.Setelah UDK tidak ada ujaran tiga kata yang merupakan tahap
khusus.Pada umumnya, pada saat anak mulai memakai UDK, dia juga masih memakai
USK.Setelah bebarapa lama memakai UDK dia juga mulai mengeluarkan ujaran yang
tiga kata atau bahkan lebih. Jadi, antara satu jumlah kata dengan jumlah kata
yang lain bukan merupakan tahap yang terputus.
d.
Pemerolehan
Bahasa dalam bidang pragmatic
Jakobson (dalam http://mypapirus-papirus.blogspot.com/2009/06/autisme-psikolinguistik.html)menyatakan
bahwa tahap pemerolehan pragmatik, anak dipengaruhi oleh lingkungannya. Di
dalam pemerolehan pragmatik, anak tidak hanya berbahasa tetapi juga memperoleh
tindak berbahasa. Menurut Dardjowidjojo (2003: 266) membagi pemerolehan
pragmatik dalam dua teori, yaitu:
· Pemerolehan Niat Komunikatif
Dardjowidjojo (2003: 266) menyatakan bahwa pada
minggu-minggu pertama sesudah lahir, anak mulai menunjukkan niat komunikatifnya
dengan tersenyum, menoleh bila dipanggil, menggapai bila diberi sesuatu, dan
memberikan sesuatu kepada orang lain.
Dari penelitian Nino dan Snow dalam Dardjowidjojo (2003:
266) “didapati bahwa arah ujaran-ujaran awal adalah ke diri anak, artinya semua
ujaran yang dikeluarkan, diarahkan untuk kepentingan diri sendiri, bukan untuk
orang lain. Karena itulah pada awal hidupnya anak kelihatan egois dan
egoisentris”.
·
Pemerolehan
kemampuan percakapan
Dardjowidjojo
(2003: 266-267) menyatakan bahwa percakapan mempunyai struktur yang terdiri
dari tiga komponen, yaitu (1)pembukaan, (2) giliran, dan (3)penutup. Bila orang
tua menyapanya atau anak-anak yang menyapa terlebih dahulu, itulah tanda bahwa
percakapan akan dimulai. Pada tahap giliran, akan terjadi memberikan respond an
pada bagian penutup, tidak mustahil pula bahwa pertanyaan tadi tidak terjawab
karena anak lalu pergi saja meninggalkan orang tuanya atau beralih ke kegiatan
lain.
Dari
penelitian Pan dan Snow dalam Dardjowidjojo (2003: 267) didapati bahwa pada
umur 1,8 tahun, anak hanya menanggapi sekitar 33% dari apa yang ditanyakan oleh
orang tuanya. Prosentase ini naik menjadi 56,7% pada umur 2,5 sampai 3 tahun.
C.
SIMPULAN
Pemerolehan bahasa dan pembelajaran bahasa itu berbeda.
Pemerolehan bahasa adalah proses yang berlangsung terhadap anak-anak yang
belajar menguasai bahasa pertama atau bahasa ibu. Sedangkan pembelajaran bahasa
adalah berkaitan dengan pemerolehan bahasa kedua, seperti ketika seseorang
sedang proses belajar didalam kelas.
Ada dua proses yang terjadi ketika
seseorang kanak-kanak sedang memperoleh bahasa pertamanya, yaitu proses kompetensi dan proses performansi. Kedua proses ini
merupakan proses yang berlainan. Terdapat beberapa hipotesis atau teori yang berkaitan dengan
pemerolehan bahasa. Salah satunya menurut Chaer (2009:168-180) yang mengatakan
terdapat tiga teori atau hipotesis, yaitu hipotesis nurani, hipotesis
tabularasa, hiotesis kesemestaan kognitif.
Terdapat berbagai jenis-jenis dalam pemerolehan bahasa,
menurut Darjowidjojo (2003: 244), ada tiga komponen, yakni fonologi, sintaksis,
dan semantik. Di samping itu, ada bahasan pula mengenai pemerolehan pragmatik,
yakni bagaimana anak memperoleh kelayakan dalam berujar.
DAFTAR PUSTAKA
Chaer, A. 2009. Psikolinguistik: kajian teoretik. Jakarta: Rineka Cipta.
Dardjowidjojo, S. 2012. Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia.
Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Harras, K.A dan Bachari, A.D.
2009. Dasar-dasar Psikolinguistik. Bandung: UPI Press.
Iqlima, R. 2012. Psikolinguistik, (http://riqlima.blogspot.com/), (online), diakses pada tanggal 10 Juni
2013.
Mimi.
2009. Stimulus Kemampuan Berbahasa Anak Autis:Suatu
Pembelajaran Bahasa, (http://Mypapirus-Papirus.Blogspot.Com/2009/06/Autisme-Psikolinguistik.Html), (online), diakses pada tanggal 10 Juni 2013.
Saryono, D.
2010. Pemerolehan Bahasa: Teori dan Serpihan Kajian. Malang: Nasa Media.
0 komentar:
Posting Komentar