Selasa, 02 Juli 2013

Hubungan Bahasa Dalam Politik Positivistik


I.                   PENDAHULUAN
Memperhatikan perkembangan sistem hukum Indonesia, kita akan melihat adanya ciri-ciri yang spesifik dan menarik untuk dikaji. Sebelum pengaruh hukum dari penjajahan Belanda di Indonesia berlaku hukum adat dan hukum Islam yang berbeda-beda dari berbagai masyarakat adat di Indonesia dari setiap kerajaan dan etnik yang berbeda. Setelah masuk penjajah Belanda membawa hukumnya sendiri yang sebagian besarnya merupakan konkordansi dengan hukum yang berlaku di Belanda yaitu hukum tertulis dan perundang-undangan yang bercorak positivis. Walaupun demikian Belanda menganut politik hukum adat (adatrechtpolitiek), yaitu membiarkan hukum adat itu berlaku bagi golongan masyarakat Indonesia asli dan hukum Eropa berlaku bagi kalangan golongan Eropa yang bertempat tinggal di Indonesia (Hindia Belanda). Dengan demikian pada masa Hindia Belanda berlaku pluralisme hukum. Perkembangan hukum di Indonesia menunjukkan kuatnya pengaruh hukum kolonial dan meninggalkan hukum adat. (Daniel S. Lev, 1990 : 438-473).

Karena itu dalam melihat persoalan hukum di Indonesia harus dipandang dari kenyataan sejarah dan perkembangan hukum Indonesia itu. Pada saat sekarang ini terdapat perbedaan cara pandang terhadap hukum diantara kelompok masyarakat Indonesia. Berbagai ketidakpuasan atas penegakkan hukum dan penanganan berbagai persoalan hukum bersumber dari cara pandang yang tidak sama tentang apa yang dimaksud hukum dan apa yang menjadi sumber hukum. Tulisan ini akan mengkaji permasalahan ini dari sudut pandang teori positivis yang berkembang dalam ilmu hukum dengan harapan akan mendapatkan gambaran tentang akar persoalan pembangunan sistem hukum Indonesia pada masa mendatang.
Perdebatan mengenai hubungan hukum dan politik memiliki akar sejarah panjang dalam ilmu hukum. Bagi kalangan penganut aliran positivisme hukum seperti John Austin, hukum adalah tidak lain dari produk politik atau kekuasaan. Pada sisi lain, pandangan berbeda datang dari kalangan aliran sejarah dalam ilmu hukum, yang melihat hukum tidak dari dogmatika hukum dan undang-undang semata, akan tetapi dari kenyataan-kenyataan sosial yang ada dalam masyarakat dan berpandangan bahwa hukum itu tergantung pada penerimaan umum dalam masyarakat dan setiap kelompok menciptakan hukum yang hidup.
II.                PEMBAHASAN
            A.    Politik Positivistik.
Istilah positivisme digunakan pertama kali Saint Simon (1760-1825) sebagai metode dan sekaligus merupakan perkembangan dalam aras pemikiran filsafat. Istilah ini kemudian mendapat sambutan luas setelah diadopsi dan dikembangkan lebih lanjut oleh pemikir Prancis lainnya Auguste Comte (1789-1857). Peranan positivisme menjadi penting melalui teori Comte tentang kemajuan manusia. Menurutnya, kemajuan manusia ditandai dengan tiga stadium perkembangan dalam pendekatan dan pemikirannya: (1) stadium teologis, di mana manusia dan seluruh pengalamannya dijelaskan secara supranatural; (2) stadium filsafat yang berusaha menjelaskan alam serta berbagai gejala yang ada di dalamnya dengan melulu mengandalkan kemampuan rasio atau akal budi, dan (3) stadium positif, yakni tahap di mana seluruh pengalaman itu memberi inspirasi kepada manusia untuk merumuskan hukum. Pada tahap ketiga ini kebenaran dicari dengan bantuan ilmu pengetahuan. (B. Kusumohamidjojo, 2004:114).
Masuknya istilah positivisme hukum memberi nuansa filosofis dalam pemikiran tentang hukum. Dalam konteks ini, positivisme lalu digunakan dengan berbagai makna di dalamnya. Secara umum istilah positivisme hukum memuat berbagai makna yang menunjukkan sifat dasar dari aliran pemikiran hukum. Bila kita menghadap bentuk-bentuk hukum yang aktual pada zaman modern ini, kita sampai pada keyakinan bahwa hukum yang mempunyai arti yuridis yang sungguh-sungguh adalah hukum yang ditentukan oleh pemerintah suatu negara, yakni undang-undang. Hal ini jelas dalam kenyataan bahwa peraturan-peraturan yang berlaku dalam lembaga yang non-negara, membutuhkan peneguhan dari pihak negara supaya berlaku sungguh-sungguh secara yuridis. Juga hukum adat dipandang sebagai hukum yang berlaku secara effektif, bila disahkan oleh pemerintah negara yang bersangkutan (Theo Huijbers, 1991: 39).
Terdapat sekurang-kurang 5 (Lima) pengertian pokok dalam istilah positivisme hukum.
Pertama, positivisme hukum digunakan untuk menunjuk pada konsep hukum yang mendefinisikan hukum sebagai perintah; pemikiran hukum sebagaimana diperkenalkan ahli filsafat hukum Inggris, John Austin. Gagasan ini ditolah oleh  H.L.A. Hart, meskipun bersama Austin, Hart dikenal sebagai pendukung utama positisme hukum. Definisi Austin dipandang tidak cukup memadai terutama terutama karena definisi seperti itu mengabaikan berbagai peraturan lainnya yang juga berfungsiu sebagai hukum meskipun tidak harus dalam arti perintah dari seseorang yang berdaulat sebagaimana dimengerti oleh Austin. Jadi, semua undang-undang dan konstitusi serta hukum internasional dapat dimasukkan dalam kategori positivisme. Bahkan, makna istilah ini juga dapat diperluas meliputi berbagai hukum adat dan hukum yang dibuat oleh seorang hakim dalam proses pengadilan (yurisprudensi).
Kedua, istilah positivisme hukum juga digunakan untuk menandai perkembangan penting dalam konsep hukum yang ditandai oleh dua ciri utama: (1) hukum dipisahkan secara tegas dari moral dan politik. Hukum harus netral terhadap moral dan politik. Asalkan dimengerti dengan baik, ini yang disebut dengan teori hukum murni yang dikembangkan Hans Kelsen; dan (2) hukum tidak berurusan dengan hukum ideal, melainkan dengan hukum aktual, hukum yang ada. Pemisahan ini tentu saja penting karena pertimbangan kepastian hukum. Akan tetapi, pemisahan bagi positivisme juga dipandang penting untuk melepaskan hukum dari pertanyaan moral yang tidak ilmiah. Hukum yang ilmiah harus bebas dari  moral.
Ketiga, positivisme hukum juga dimengerti sebagai cara berpikir dalam proses judisial dimana hakim mendasarkan keputusannya pada peraturan hukum yang ada. Di sini keputusan judisial semata-mata merupakan deduksi peraturan hukum. Inilah cara berpikir akademis yang mengandalkan kemampuan berpikir logis. Dengan demikian, positivisme dalam konteks judisial menunjuk pada proses pengadilan di mana keputusan hakim diambil, menurut istilah Ronald Dworkin, secara mekanistis. Hart menyebut konsep judisial seperti ini sabagai automatic atau slot-machine (Andre Ata Ujan, 2009: 67).
Keempat, positivisme hukum juga merupakan cara berpikir yang berpendapat bahwa penilaian moral kalau dipandang perlu harus dapat dilakukan dengan menunjukkan bukti-bukti faktual atau argumen rasional. Pandangan yang beranggapan bahwa kesatuan masyarakat tercipta karena adanya moralitas yang diterima oleh anggota masyarakat. Pandangan ini yang dikenal sebagai positivisme sosiologis, yang sangat menekankan watak ilmiah dari hukum (Andre Ata Ujan, 2009:67).
Kelima, istilah positivisme juga digunakan untuk menunjuk pada pandangan yang menuntut bahwa hukum yang ada, juga kalau tidak adil, harus dipatuhi. Dengan kata lain, bagi positivisme hukum tidak tergantung pada validitas moral sebagaimana yang dituntut oleh teori hukum kodrat. Hukum hanya tidak berlaku atau tidak valid apabila terjadi kontradiksi dalam hukum itu sendiri. Namun, harus ditambahkan bahwa pandangan seperti itu tidak berarti para penganut positivisme hukum tidak menghargai nilai atau prinsip moral. Hart atau Kelsen, misalnya, adalah dua pemikir hukum yang sangat menghargai nilai moral meskipun tidak harus dicampuradukkan dengan norma hukum.
            B.     Pandangan Positivistik
Aliran positivisme hukum berasal dari ajaran sosiologis yang dikembangkan oleh filosof Perancis; August Comte (1798-1857) yang berpendapat bahwa terdapat kepastian adanya hukum-hukum perkembangan mengatur roh manusia dan segala gejala hidup bersama dan itulah secara mutlak. August Comte hanya mengakui hukum yang dibuat oleh negara. (Achmad Ali, 2002, : 265). Untuk memahami positivisme hukum tidak dapat diabaikan metodelogi positivis dalam sains yang mengahruskan dilakukannya validasi dengan metode yang terbuka atas setiap kalin atau proposisi yang diajukan. Karena itu bukti empirik adalah syarat universal untuk diterimanya kebenaran dan tidak berdasarkan otoritas tradisi atau suatu kitab suci. Menurut Fletcher (Fletcher 1996 : 33) Positivisme hukum mempunyai pandangan yang sama tentang diterimanya validasi. Seperti halnya positivisme sains yang tidak dapat menerima pemikiran dari suatu proposisi yang tidak dapat diverifikasi atau yang tidak dapat difalsifikasi., tetapi karena hukum itu ada karena termuat dalam perundang-undangan apakah dipercaya atau tidak. Hukum harus dicantumkan dalam undang-undang oleh lembaga legislatif dengan memberlakukan, memperbaiki dan merubahnya.
Positivisme hukum berpandangan bahwa hukum itu harus dapat dilihat dalam ketentuan undang-undang, karena hanya dengan itulah ketentuan hukum itu dapat diverifikasi. Adapan yang di luar undang-undang tidak dapat dimasukkan sebagai hukum karena hal itu berada di luar hukum. Hukum harus dipisahkan dengan moral, walaupun kalangan positivis mengakui bahwa focus mengenai norma hukum sangat berkaitan dengan disiplin moral, teologi, sosiolgi dan politik yang mempengaruhi perkembangan sistem hukum. Moral hanya dapat diterima dalam sistem hukum apabila diakui dan disahkan oleh otoritas yang berkuasa dengan memberlakukannya sebagai hukum.
Lebih jauh, pandangan dan pendapat dari mazhab positivisme ini dapat ditelusuri dari pendapat dan pandangan dari para penganut terpenting dari mazhab ini antara lain John Austin, seorang ahli hukum yang berkebangsaan Inggeris yang mewakili pandangan positivis dari kelompok penganut sistem hukum Common Law dan Hans Kelsen, seorang ahli hukum yang berkebangsaan Jerman yang mewakili pandangan positivis dari kelompok penganut sistem hukum Eropa Kontinental. Menurut John Austin hukum adalah perintah kaum yang berdaulat. Ilmu hukum berkaitan dengan hukum positif atau dengan ketentuan-ketentuan lain yang secara tegas disebut demikian. Pendapat Austin sangat dipengaruhi oleh pandangannya mengenai kedaulatan negara yang memiliki dua sisi yaitu sisi eksternal dalam bentuk hukum internasional dan sisi internal dalam bentuk hukum positif. Kedaulatan negara menuntut ketaatan dari penduduk warga negara. Lebih lanjut menurut Austin, ketaatan ini berbeda dengan ketaatan seseorang karena ancaman senjata. Ketaatan warga negara terhadap kedaulatan negara didasarkan pada legitimasi. Menurut pandangan Austin (Lili Rasyidi, 2001:58), hukum sebagai suatu sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup (closed logical system). Hukum dipisahkan secara tegas dari keadilan dan tidak didasarkan pada nilai-nilai yang baik atau buruk. Ada empat unsur hukum yaitu adanya perintah, sanksi, kewajiban dan kedaulatan. Ketentuan yang tidak memenuhi ke empat unsur ini tidak dapat dikatan sebagai positive law.
            C.    Hubungan Bahasa Indonesia dengan positivistik.
Manusia adalah makhluk sosial yang dimana setiap kegiatannya pasti membutuhkan peranan individu lain untuk dapat hidup bermasyarakat yang damai dan sejahtera. Untuk mencapai suatu kehidupan bermasyarakat ini maka Manusia memerlukan Bahasa untuk dapat berkomunikasi, karena yang paling penting dalam kehidupan adalah berkomunikasi untuk mencapai suatu tujuan dan supaya tidak terjadi salah paham diantara manusia yang melakukan komunikasi tersebut. Menurut Keraf (1997: 3) bahasa memiliki fungsi-fungsi tertentu yang digunakan berdasarkan kebutuhan seseorang, yakni sebagai alat untuk mengekspresikan diri, sebagai alat untuk berkomunikasi, sebagai alat untuk mengadakan integrasi dan beradaptasi sosial dalam lingkungan atau situasi tertentu, dan sebagai alat untuk melakukan kontrol sosial. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, bahasa memang sangat penting digunakan. Karena bahasa merupakan simbol yang dihasilkan menjadi alat ucap yang digunakan oleh sesama masyarakat. Dalam kehidupan sehari-hari hampir semua aktifitas kita menggunakan bahasa. Baik menggunakan bahasa secara lisan maupun secara tulisan dan bahasa tubuh.
Bahasa merupakan elemen yang sangat penting dari berbagai cabang ilmu yang ada termasuk bahasa Indonesia. Segala bidang ilmu selalu disampaikan melalui bahasa termasuk juga politik positivistik

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright 2009 Moh. Fajri