I.
PENDAHULUAN
Memperhatikan
perkembangan sistem hukum Indonesia, kita akan melihat adanya ciri-ciri yang
spesifik dan menarik untuk dikaji. Sebelum pengaruh hukum dari penjajahan
Belanda di Indonesia berlaku hukum adat dan hukum Islam yang berbeda-beda dari
berbagai masyarakat adat di Indonesia dari setiap kerajaan dan etnik yang
berbeda. Setelah masuk penjajah Belanda membawa hukumnya sendiri yang sebagian
besarnya merupakan konkordansi dengan hukum yang berlaku di Belanda yaitu hukum
tertulis dan perundang-undangan yang bercorak positivis. Walaupun demikian Belanda menganut politik hukum adat (adatrechtpolitiek), yaitu
membiarkan hukum adat itu berlaku bagi golongan masyarakat Indonesia asli dan
hukum Eropa berlaku bagi kalangan golongan Eropa yang bertempat tinggal di Indonesia
(Hindia Belanda). Dengan demikian pada masa Hindia Belanda berlaku pluralisme
hukum. Perkembangan hukum di Indonesia menunjukkan kuatnya pengaruh hukum
kolonial dan meninggalkan hukum adat. (Daniel S. Lev, 1990 : 438-473).
Karena
itu dalam melihat persoalan hukum di Indonesia harus dipandang dari kenyataan
sejarah dan perkembangan hukum Indonesia itu. Pada saat sekarang ini terdapat
perbedaan cara pandang terhadap hukum diantara kelompok masyarakat Indonesia.
Berbagai ketidakpuasan atas penegakkan hukum dan penanganan berbagai persoalan
hukum bersumber dari cara pandang yang tidak sama tentang apa yang dimaksud
hukum dan apa yang menjadi sumber hukum. Tulisan ini akan mengkaji permasalahan
ini dari sudut pandang teori positivis yang berkembang dalam ilmu hukum dengan
harapan akan mendapatkan gambaran tentang akar persoalan pembangunan sistem
hukum Indonesia pada masa mendatang.
Perdebatan mengenai hubungan hukum
dan politik memiliki akar sejarah panjang dalam ilmu hukum. Bagi kalangan
penganut aliran positivisme hukum seperti John Austin, hukum adalah tidak lain
dari produk politik atau kekuasaan. Pada sisi lain, pandangan berbeda datang
dari kalangan aliran sejarah dalam ilmu hukum, yang melihat hukum tidak dari
dogmatika hukum dan undang-undang semata, akan tetapi dari kenyataan-kenyataan
sosial yang ada dalam masyarakat dan berpandangan bahwa hukum itu tergantung
pada penerimaan umum dalam masyarakat dan setiap kelompok menciptakan hukum
yang hidup.
II.
PEMBAHASAN
A.
Politik Positivistik.
Istilah positivisme digunakan pertama kali Saint Simon (1760-1825)
sebagai metode dan sekaligus merupakan perkembangan dalam aras pemikiran
filsafat. Istilah ini kemudian mendapat sambutan luas setelah diadopsi dan dikembangkan
lebih lanjut oleh pemikir Prancis lainnya Auguste Comte (1789-1857). Peranan
positivisme menjadi penting melalui teori Comte tentang kemajuan manusia.
Menurutnya, kemajuan manusia ditandai dengan tiga stadium perkembangan dalam
pendekatan dan pemikirannya: (1) stadium teologis, di mana manusia dan seluruh
pengalamannya dijelaskan secara supranatural; (2) stadium filsafat yang
berusaha menjelaskan alam serta berbagai gejala yang ada di dalamnya dengan
melulu mengandalkan kemampuan rasio atau akal budi, dan (3) stadium positif,
yakni tahap di mana seluruh pengalaman itu memberi inspirasi kepada manusia
untuk merumuskan hukum. Pada tahap ketiga ini kebenaran dicari dengan bantuan
ilmu pengetahuan. (B. Kusumohamidjojo, 2004:114).
Masuknya istilah positivisme hukum memberi nuansa filosofis dalam
pemikiran tentang hukum. Dalam konteks ini, positivisme lalu digunakan dengan
berbagai makna di dalamnya. Secara umum istilah positivisme hukum memuat
berbagai makna yang menunjukkan sifat dasar dari aliran pemikiran hukum. Bila
kita menghadap bentuk-bentuk hukum yang aktual pada zaman modern ini, kita
sampai pada keyakinan bahwa hukum yang mempunyai arti yuridis yang
sungguh-sungguh adalah hukum yang ditentukan oleh pemerintah suatu negara,
yakni undang-undang. Hal ini jelas dalam kenyataan bahwa peraturan-peraturan
yang berlaku dalam lembaga yang non-negara, membutuhkan peneguhan dari pihak
negara supaya berlaku sungguh-sungguh secara yuridis. Juga hukum adat dipandang
sebagai hukum yang berlaku secara effektif, bila disahkan oleh pemerintah
negara yang bersangkutan (Theo Huijbers, 1991: 39).
Terdapat sekurang-kurang 5 (Lima) pengertian pokok dalam istilah
positivisme hukum.
Pertama, positivisme
hukum digunakan untuk menunjuk pada konsep hukum yang mendefinisikan hukum
sebagai perintah; pemikiran hukum sebagaimana diperkenalkan ahli filsafat hukum
Inggris, John Austin. Gagasan ini ditolah oleh H.L.A. Hart, meskipun
bersama Austin, Hart dikenal sebagai pendukung utama positisme hukum. Definisi
Austin dipandang tidak cukup memadai terutama terutama karena definisi seperti
itu mengabaikan berbagai peraturan lainnya yang juga berfungsiu sebagai hukum
meskipun tidak harus dalam arti perintah dari seseorang yang berdaulat
sebagaimana dimengerti oleh Austin. Jadi, semua undang-undang dan konstitusi
serta hukum internasional dapat dimasukkan dalam kategori positivisme. Bahkan,
makna istilah ini juga dapat diperluas meliputi berbagai hukum adat dan hukum
yang dibuat oleh seorang hakim dalam proses pengadilan (yurisprudensi).
Kedua, istilah
positivisme hukum juga digunakan untuk menandai perkembangan penting dalam
konsep hukum yang ditandai oleh dua ciri utama: (1) hukum dipisahkan secara
tegas dari moral dan politik. Hukum harus netral terhadap moral dan politik.
Asalkan dimengerti dengan baik, ini yang disebut dengan teori hukum murni yang
dikembangkan Hans Kelsen; dan (2) hukum tidak berurusan dengan hukum ideal,
melainkan dengan hukum aktual, hukum yang ada. Pemisahan ini tentu saja penting
karena pertimbangan kepastian hukum. Akan tetapi, pemisahan bagi positivisme
juga dipandang penting untuk melepaskan hukum dari pertanyaan moral yang tidak
ilmiah. Hukum yang ilmiah harus bebas dari moral.
Ketiga, positivisme
hukum juga dimengerti sebagai cara berpikir dalam proses judisial dimana hakim
mendasarkan keputusannya pada peraturan hukum yang ada. Di sini keputusan
judisial semata-mata merupakan deduksi peraturan hukum. Inilah cara berpikir
akademis yang mengandalkan kemampuan berpikir logis. Dengan demikian,
positivisme dalam konteks judisial menunjuk pada proses pengadilan di mana
keputusan hakim diambil, menurut istilah Ronald Dworkin, secara mekanistis.
Hart menyebut konsep judisial seperti ini sabagai automatic atau slot-machine
(Andre Ata Ujan, 2009: 67).
Keempat, positivisme
hukum juga merupakan cara berpikir yang berpendapat bahwa penilaian moral kalau
dipandang perlu harus dapat dilakukan dengan menunjukkan bukti-bukti faktual
atau argumen rasional. Pandangan yang beranggapan bahwa kesatuan masyarakat
tercipta karena adanya moralitas yang diterima oleh anggota masyarakat.
Pandangan ini yang dikenal sebagai positivisme sosiologis, yang sangat
menekankan watak ilmiah dari hukum (Andre Ata Ujan, 2009:67).
Kelima, istilah
positivisme juga digunakan untuk menunjuk pada pandangan yang menuntut bahwa
hukum yang ada, juga kalau tidak adil, harus dipatuhi. Dengan kata lain, bagi
positivisme hukum tidak tergantung pada validitas moral sebagaimana yang
dituntut oleh teori hukum kodrat. Hukum hanya tidak berlaku atau tidak valid apabila
terjadi kontradiksi dalam hukum itu sendiri. Namun, harus ditambahkan bahwa
pandangan seperti itu tidak berarti para penganut positivisme hukum tidak
menghargai nilai atau prinsip moral. Hart atau Kelsen, misalnya, adalah dua
pemikir hukum yang sangat menghargai nilai moral meskipun tidak harus
dicampuradukkan dengan norma hukum.
B.
Pandangan Positivistik
Aliran
positivisme hukum berasal dari ajaran sosiologis yang dikembangkan oleh filosof
Perancis; August Comte (1798-1857) yang berpendapat bahwa terdapat kepastian
adanya hukum-hukum perkembangan mengatur roh manusia dan segala gejala hidup
bersama dan itulah secara mutlak. August Comte hanya mengakui hukum yang dibuat
oleh negara. (Achmad Ali, 2002, : 265). Untuk memahami positivisme hukum tidak
dapat diabaikan metodelogi positivis dalam sains yang mengahruskan dilakukannya
validasi dengan metode yang terbuka atas setiap kalin atau proposisi yang
diajukan. Karena itu bukti empirik adalah syarat universal untuk diterimanya
kebenaran dan tidak berdasarkan otoritas tradisi atau suatu kitab suci. Menurut
Fletcher (Fletcher 1996 : 33) Positivisme hukum mempunyai pandangan yang sama
tentang diterimanya validasi. Seperti halnya positivisme sains yang tidak dapat
menerima pemikiran dari suatu proposisi yang tidak dapat diverifikasi atau yang
tidak dapat difalsifikasi., tetapi karena hukum itu ada karena termuat dalam
perundang-undangan apakah dipercaya atau tidak. Hukum harus dicantumkan dalam
undang-undang oleh lembaga legislatif dengan memberlakukan, memperbaiki dan
merubahnya.
Positivisme
hukum berpandangan bahwa hukum itu harus dapat dilihat dalam ketentuan
undang-undang, karena hanya dengan itulah ketentuan hukum itu dapat
diverifikasi. Adapan yang di luar undang-undang tidak dapat dimasukkan sebagai
hukum karena hal itu berada di luar hukum. Hukum harus dipisahkan dengan moral,
walaupun kalangan positivis mengakui bahwa focus mengenai norma hukum sangat
berkaitan dengan disiplin moral, teologi, sosiolgi dan politik yang
mempengaruhi perkembangan sistem hukum. Moral hanya dapat diterima dalam sistem
hukum apabila diakui dan disahkan oleh otoritas yang berkuasa dengan
memberlakukannya sebagai hukum.
Lebih
jauh, pandangan dan pendapat dari mazhab positivisme ini dapat ditelusuri dari
pendapat dan pandangan dari para penganut terpenting dari mazhab ini antara
lain John Austin, seorang ahli hukum yang berkebangsaan Inggeris yang mewakili
pandangan positivis dari kelompok penganut sistem hukum Common Law dan
Hans Kelsen, seorang ahli hukum yang berkebangsaan Jerman yang mewakili
pandangan positivis dari kelompok penganut sistem hukum Eropa Kontinental. Menurut John Austin hukum adalah
perintah kaum yang berdaulat. Ilmu hukum berkaitan dengan hukum positif atau
dengan ketentuan-ketentuan lain yang secara tegas disebut demikian. Pendapat
Austin sangat dipengaruhi oleh pandangannya mengenai kedaulatan negara yang
memiliki dua sisi yaitu sisi eksternal dalam bentuk hukum internasional dan
sisi internal dalam bentuk hukum positif. Kedaulatan negara menuntut ketaatan
dari penduduk warga negara. Lebih lanjut menurut Austin, ketaatan ini berbeda
dengan ketaatan seseorang karena ancaman senjata. Ketaatan warga negara
terhadap kedaulatan negara didasarkan pada legitimasi. Menurut pandangan Austin
(Lili Rasyidi, 2001:58), hukum sebagai suatu sistem yang logis, tetap dan
bersifat tertutup (closed logical system). Hukum dipisahkan secara tegas
dari keadilan dan tidak didasarkan pada nilai-nilai yang baik atau buruk. Ada
empat unsur hukum yaitu adanya perintah,
sanksi, kewajiban dan kedaulatan. Ketentuan yang tidak
memenuhi ke empat unsur ini tidak dapat dikatan sebagai positive law.
C.
Hubungan Bahasa Indonesia dengan positivistik.
Manusia
adalah makhluk sosial yang dimana setiap kegiatannya pasti membutuhkan peranan
individu lain untuk dapat hidup bermasyarakat yang damai dan sejahtera. Untuk
mencapai suatu kehidupan bermasyarakat ini maka Manusia memerlukan Bahasa untuk
dapat berkomunikasi, karena yang paling penting dalam kehidupan adalah
berkomunikasi untuk mencapai suatu tujuan dan supaya tidak terjadi salah paham
diantara manusia yang melakukan komunikasi tersebut. Menurut Keraf (1997: 3)
bahasa memiliki fungsi-fungsi tertentu yang digunakan berdasarkan kebutuhan
seseorang, yakni sebagai alat untuk mengekspresikan diri, sebagai alat untuk
berkomunikasi, sebagai alat untuk mengadakan integrasi dan beradaptasi sosial
dalam lingkungan atau situasi tertentu, dan sebagai alat untuk melakukan kontrol
sosial. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, bahasa memang sangat penting
digunakan. Karena bahasa merupakan simbol yang dihasilkan menjadi alat ucap
yang digunakan oleh sesama masyarakat. Dalam kehidupan sehari-hari hampir semua
aktifitas kita menggunakan bahasa. Baik menggunakan bahasa secara lisan maupun
secara tulisan dan bahasa tubuh.
Bahasa merupakan elemen yang sangat penting dari berbagai cabang ilmu
yang ada termasuk bahasa Indonesia. Segala
bidang ilmu selalu disampaikan melalui bahasa termasuk juga politik positivistik
0 komentar:
Posting Komentar